Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Senandung "Lullaby", Merawat Gajah dengan Hati dan Cinta...

Kompas.com - 21/10/2014, 15:16 WIB
Kontributor Banda Aceh, Daspriani Y Zamzami

Penulis

BANDA ACEH, KOMPAS.com - Enam pria dewasa menyamakan gerakan dalam sekali tarikan, berharap bayi bertubuh besar itu bisa langsung ditidurkan di tanah. Dalam sekali hentak, suara erangan kesakitan pun terdengar. Memang memilukan, namun upaya menidurkan tersebut harus dilakukan.

Enam pria ini adalah mahout dan perawat gajah di kawasan Pusat Latihan Gajah (PLG), Saree, Kabupaten Aceh Besar. Sedangkan bayi raksasa yang akan ditidurkan itu adalah seekor bayi gajah berusia 2 tahun dengan bobot 356 kilogram, bernama Agam.

Setelah upaya berat tadi, seorang perempuan berperawakan kecil langsung menghampiri Agam. Dengan penuh kasih sayang, dia pun membelai kepala Agam. Kemudian dia melanjutkannya dengan memberi pijatan. Sesekali perempuan ini terlihat berbisik di telinga Agam, dan ‘lullaby’ pun disenandungkan dengan tarikan irama yang sangat lembut.

Lalu, beberapa lelaki yang tadi berusaha menidurkan Agam pun mulai membersihkan luka-luka di tubuh Agam. Luka-luka itu ditaburi dengan obat. “Ini luka-luka yang ditimbulkan karena Agam terlalu lama berbaring, karena sakit yang dideritanya,” kata seorang Mahout.

Agam, kini sedang menderita dislokasi tulang kaki belakangnya, akibat terjatuh sekitar empat bulan yang lalu. Koordinator PLG Saree, Aceh Besar Nurdin menceritakan, saat itu Agam sedang bermain bersama seekor bayi gajah lainnya bernama Rosa di PLG.

“Keduanya terlihat begitu lincah dan senang bermain bersama. Tapi, Agam tersandung kabel listrik yang tergeletak di tanah dan kebetulan pula tanah pijakannya tidak rata, membuat kaki Agam keseleo dan diagnosanya, terjadi dislokasi tulang kaki belakang, jadi dia sekarang susah berjalan,” kata Nurdin, saat usai menidurkan Agam, Kamis lalu.

Akibatnya, Agam terpaksa harus berada di kandang sepanjang hari. Akibat terlalu lama berada di kandang, beberapa bagian tubuh Agam lecet dan terluka. “Namun luka-luka itu sudah mulai sembuh, kita beri perawatan intensif terus setiap harinya, dan kini Agam pun makin sering kita posisikan berdiri dengan alat bantu berupa gendongan,” kata Nurdin.

Hal senada juga disebutkan oleh Kepala Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh, Genman Suhefti Hasibuan. Menurut Genman, kondisi Agam secara mental masih sangat sehat. “Ini terindikasi dengan gerakan-gerakan aktif yang dilakukannya setiap hari saat dia diposisi berdiri dalam gendongan. Selain itu selera makannya juga masih sangat bagus, ini mengindikasikan bahwa secara mental dia masih sangat sehat, meski dia mengalami dislokasi tulang kaki belakang,” jelas Genman.

Genman juga menepis adanya keinginan untuk mengakhiri penderitaan Agam dengan memberinya suntikan mati. “Itu tidak mungkin kita lakukan, karena kondisi Agam masih sangat baik, memang menanganinya perlu kerja ekstra dan butuh beberapa perawat yang konsen menanganinya, dan itu kita akan terus upayakan meski dalam keterbatasan kami,” ujar Genman.

Pria berperawakan kecil ini mengakui bahwa Pusat Latihan Gajah (PLG) Saree dan BKSDA Aceh memiliki keterbatasan tenaga dan alat untuk memberi terapi terhadap Agam, sehingga muncul keinginan untuk mengirim Agam ke Taman Safari Bogor untuk mendapat perawatan yang lebih intensif.

“Tapi itu harus menunggu izin dari direktorat jenderal terlebih dahulu, kendati demikian, kita akan terus berusaha semaksimal mungkin untuk menangani Agam di Aceh,” urai Genman.

Kabar tentang Agam tak hanya diketahui oleh para mahout di lokasi PLG.  Terkait populasi gajah yang mulai terancam punah di Aceh, kondisi Agam tersebar luas di berbagai media sosial bahkan sempat menjadi perbincangan dalam pembahasan konservasi gajah internasional.

Lek Chailert, seorang perawat gajah asal cagar alam Elephant Nature Park di Negara Thailand, rela datang demi menjenguk kondisi Agam. Lek menyebutkan merawat gajah dengan kondisi dislokasi tulang memang sulit. Namun jika dirawat dengan kasih sayang dan cinta, itu akan sangat membantu proses penyembuhannya.

“Gajah dengan dislokasi tulang seperti ini memang tidak bisa sembuh normal kembali, dia pasti hidup dengan kondisi cacat nantinya, yakni pincang saat berjalan, namun jika dirawat dengan baik dia pasti akan sembuh,” kata Lek.

K12-11 Agam, seekor bayi berdiri dengan bantuan alat gendongan, karena mengalami dislokasi tulang pada kaki bagian belakang. ***** K12-11
Menangani dengan cinta
Bersama Lek, hadir juga seorang dokter hewan bernama Erica Ward. Keduanya kini menangani gajah-gajah di Nature Elephant Park, Chiangmai, Thailand. Selama kunjungan di PLG Saree, Lek "meninabobokan" Agam setiap malam dengan lagu khusus. Lagu ini dikenal dengan sebutan ‘Lullaby’.

“Menangani gajah bukan hanya dengan fisik, tapi juga dengan hati dan cinta, karena mereka adalah mahkluk yang memiliki perasaan halus walaupun bertubuh besar. Terapi merawat gajah dengan cinta terbukti membuat binatang ini bisa dikendalikan dan bisa hidup berdampingan dengan manusia,” kata Lek.

Dan, Lek pun mulai membelai kepala Agam, sambil membisikkan ‘Lullaby’ di telinganya. Setelah itu, Lek juga memberi pijatan khas bagi Agam, yang diyakini pijatan dan sentuhan ini akan bisa mengurangi rasa sakit yang dirasakan Agam.

Lek juga mengisahkan kasus yang sama, bahkan lebih parah yang pernah ditanganinya terhadap gajah yang dibawa ke lokasi cagar alam miliknya bernama Mintra. “Gajah betina ini datang ke tempat kami dengan kondisi yang lebih parah dari Agam, namun dengan keseriusan dan perhatian penuh, kami merawatnya bersama-sama, hingga dia bisa sembuh meski harus berjalan pincang, bahkan kini dia sudah melahirkan seekor bayi gajah yang lucu.

Rontgen
Selama berada di PLG, keduanya bekerjasama dengan dokter Rosa yang selama ini menjadi dokter di pusat latihan gajah ini. “Senang rasanya bisa mendapat teman untuk membantu kesembuhan Agam, kami berusaha menangani dengan harapan di bisa cepat pulih dan bisa bermain kembali,” ujar Rosa.

Sabtu 18 Oktober lalu, sebut Rosa, sepanjang hari Agam menjalani proses rontgent, untuk mengetahui kondisi tulang kakinya. “Sebelumnya juga sudah pernah dilakukan proses rontgent namun belum begitu sempurna, kini kita kembali melakukannya dengan bantuan alat yang lebih baik, yang dipinjamkan dari Jakarta, dan kini kita tunggu hasilnya saja,” terang Rosa.

K12-11 Petugas Medis sedang melakukan proses rontgen terhadap Gajah bernama Agam yang beruisa 2 tahun di Pusat Latihan gajah (PLG) Saree, Kabupaten Aceh Besar. **** K12-11
Proses rontgent berjalan dengan baik, walau alat rontgent sempat mengalami gangguan karena intensitas pemakaian yang memakan waktu berjam-jam.

Pusat Latihan Gajah, adalah tempat penjinakan gajah di bawah naungan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh. Kini di sana ada 38 ekor gajah jinak jantan dan betina serta 2 bayi gajah. Kedua bayi masing-masing bernama Rosa dan Agam.

Rosa sudah berusia 2,5 tahun dan lahir dari induk bernama Suci dan sang ayah bernama Geng yang merupakan gajah liar, yang kini sudah mati akibat perburuan gajah. Rosa lahir di lokasi Conservation Rescue Unit (CRU), Desa Ie Jeureungeh, Kecamatan Sampoiniet, Kabupaten Aceh Jaya akhir tahun 2011.

Kelahiran Rosa atau yang dikenal dengan nama Oca, ini memberi kegembiraan bagi penghuni CRU Ie Jeureungeh, PLG Saree dan BKSDA, di tengah makin berkurangnya populasi gajah Sumatera di Aceh.

Selain Rosa, PLG pun mendapat kiriman seekor bayi Gajah diberi nama Agam. Agam diserahkan oleh warga di Kabupaten Aceh Timur yang menemukannya dalam kondisi mengenaskan. Saat ditemukan Agam terjerumus dalam sebuah lubang sumur kering oleh warga dan kemudian menyerahkannya kepada PLG Saree.

“Sebagai gajah yatim piatu, Agam memang rentan, imunitas tubuhnya sangat rendah karena tidak mendapat asupan air susu ibu, jadi penanganan dan perawatan kesehatan untuk dia memang harus lebih intensid ketimbang Oca,” kata Rosa.

Selain Agam, PLG Saree sebelumnya juga menerima seekor anak gajah diberi nama Raju. Raju dievakuasi sekitar bulan Juni 2013 lalu, namun akibat tidak mampu bertahan akhirnya Raju mati pada Juli 2013.

Genman mengatakan, kini angka gajah sumatera ((Elephas maximus sumatranus) di Aceh terus menurun akibat pembunuhan gajah. Ini terindikasi ada hubungan dengan perburuan gading. Untuk mengantisipasi pembunuhan gajah, BKSDA Aceh mengintesifkan pertemuan dengan masyarakat desa yang kerap berkonflik dengan gajah.

Selama 2012, tercatat 27 gajah mati sebagian besar karena dibunuh dengan diracun dan dijerat di berbagai kabupaten di Aceh. Dari semua kasus itu baru satu pembunuhan gajah bernama Papa Genk di Sampoinet Kabupaten Aceh Jaya pada Juli 2013 diproses hingga ke pengadilan.

Sementara itu sepanjang September 2014, 3 ekor gajah liar tewas di dua kabupaten, yakni Kabupaten Aceh jaya dan Kabupaten Aceh Timur. Kini di Aceh hanya tersisa kurang dari 500 gajah liar saja.


Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com