Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bertaruh Nyawa Menjadi TKI

Kompas.com - 16/10/2013, 17:45 WIB

KOMPAS.com - Berangkat sebagai tenaga kerja di luar negeri sering kali menjadi pilihan yang terpaksa diambil warga meskipun taruhannya nyawa. Keterbatasan kesempatan kerja di dalam negeri, ditambah hasilnya yang dianggap kurang memadai, kerap mendorong seseorang memutuskan jadi TKI.

Risiko itu dihadapi Siti Zaenab (45), TKI asal Desa Martajasah, Bangkalan, Jawa Timur, yang hingga kini sudah dipenjara 14 tahun akibat dakwaan membunuh majikan pada 1999. Sesuai vonis pengadilan, Zaenab seharusnya dihukum pancung pada 2000. Namun, berkat lobi Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur kepada Raja Fadh, hukuman ditangguhkan hingga menunggu putra majikan Zaenab, Walid Abdullah Muhsin al-Ahmadi, berusia 17 tahun.

Walid saat itu berusia 3,5 tahun. Gus Dur berharap pada usia 17 tahun, Walid berubah pikiran dan memaafkan Zaenab sehingga Zaenab bisa kembali ke Bangkalan. Kini, saat usia Walid berusia 17 tahun, Syarifuddin (21), putra Zaenab, belum mengetahui nasib ibunya. ”Akhir September lalu, Emak mengabari lewat telepon baru potong rambut dan ingin segera pulang ke Madura,” kata Syarifuddin, Sabtu (12/10) lalu.

Kini, Syarifuddin mengatakan hanya menunggu kabar selanjutnya dari Kementerian Luar Negeri, LSM, atau telepon dari Zaenab. Saat ditinggal Zaenab, Syarifuddin berusia lima tahun, dan adiknya Alio Ridho berusia dua tahun.

Demi menghidupi keluarga, sepeninggal suami, Zaenab terpaksa pergi ke Arab Saudi menjadi TKI dan menitipkan Syarifuddin dan Ali Ridho ke orangtuanya. Padahal, sebelumnya Zaenab baru pulang setelah bekerja di Malaysia sejak 1997. ”Emak sering dikasari majikan saat bekerja. Saat terjadi pembunuhan, rambut emak dijambak dari belakang mau dibunuh. Namun, Emak spontan mengambil pisau dapur dan menusuk majikan hingga tewas,” kata Syarifuddin.

Awalnya, Frans Hiu dan Dharry Frully Hiu, kakak beradik warga di Gang Mantuka, Jalan Selat Sumbam, Kota Pontianak, Kalimantan Barat, ingin meringankan beban keluarga dengan bekerja di Malaysia. Berbekal ijazah SMA, keduanya memilih jadi TKI karena di kotanya mereka sulit mendapatkan pekerjaan yang layak.

Namun, apa boleh buat. Pada awal Oktober 2012, Frans dan Dharry, saat ingin menyelamatkan barang majikan dari pencurian, justru didakwa melakukan pembunuhan terhadap pencuri. Mereka divonis hukuman gantung oleh Mahkamah Tinggi Jenayah 5 Syah Alam, Malaysia.

Sebagai orangtua, tentu Bong Djit Min tidak bisa tenang. Hari-harinya diliputi kecemasan menunggu pembebasan yang tidak kunjung datang. Setahun sejak vonis, proses banding yang diajukan anaknya berkali-kali ditunda. ”Terakhir, anak saya memberitahukan sidang banding digelar pada November mendatang. Saya berharap anak saya bebas,” ujar Bong.

Terjerat jaringan narkoba

Risiko besar juga dialami TKI asal Dusun Gondangrejo, Desa Kragilan, Kecamatan Mojosongo, Boyolali, Jawa Tengah, Dyah Purwaningsih (36). Tiga tahun sejak divonis hukuman mati karena terjerat jaringan sindikat narkoba untuk menjadi kurir narkoba, ibunya, Uum Sumiyati (59), tidak tahu lagi nasib Dyah. ”Apakah ia sudah menjalani hukuman atau belum, saya tidak tahu,” ujarnya memelas.

Dyah divonis hukuman mati setelah tertangkap membawa 765,8 gram narkoba saat melalui pintu imigrasi Luohu, Guangdong, China, tiga tahun lalu. Putusan Pengadilan Menengah Kota Shenzen dan putusan banding Pengadilan Tinggi Provinsi Guangdong menjatuhkan vonis dengan penundaan jangka waktu dua tahun. Surat pemberitahuan tentang vonis ini sempat diterima perangkat desa pada Agustus 2011.

Kontak terakhir Uum dengan Dyah adalah Desember 2009. Saat itu, Dyah mengabarkan ia sudah habis kontrak di Hongkong dan segera kembali ke Tanah Air. Rencana mengirimkan uang dibatalkan karena akan dibawa sendiri oleh Dyah.

”Pernah ada seorang perempuan dari Musuk, Boyolali, datang ke sini menanyakan apakah Dyah sudah pulang. Ia mengatakan, Dyah diberikan uang Rp 75 juta oleh kakaknya yang juga TKI di sana untuk belanja barang, tetapi kok tidak datang-datang. Saya merasa anak saya kena bujuk rayu atau ditipu orang lalu tertangkap,” kata Uum.

Dyah pernah menjadi TKI di Hongkong selama dua tahun melalui perusahaan pengerah tenaga kerja di luar Boyolali. Kontraknya habis, ia kemudian kembali menjadi TKI di Hongkong dan kemudian tertangkap. Selama menjadi TKI, menurut Uum, kadang-kadang ia dikirimi uang Rp 1 juta-Rp 2 juta per bulan untuk biaya sekolah anak Dyah, kebutuhan sehari-hari keluarga, dan biaya berobat ayahnya yang sakit. ”Gaji Dyah terakhir katanya Rp 3 juta. Awalnya, gaji anak saya hanya Rp 2 jutaan setelah dipotong biaya keberangkatan,” kata Uum.

”Dia anak sulung, rasa tanggung jawabnya kepada keluarga besar. Dia bilang ingin mengubah kehidupannya dengan jadi TKI karena bekerja di pabrik di sini gajinya segitu-segitu saja. Kalau anak saya itu pengedar narkoba sejak lama, pasti kirimannya lebih banyak. Rumahnya tidak jelek seperti ini,” kata Uum yang kini harus menanggung anak kedua Dyah.

Sejak Tuti Tursilawati (29), TKI asal Desa Cikeusik, Kecamatan Sukahaji, Majalengka, Jawa Barat, divonis mati karena membunuh majikan pada 2010, kegundahan kini menyelimuti ibundanya, Siti Sarniti (44). Kini, nasib Tuti menunggu negosiasi pemerintah mengenai pembayaran uang diat (denda) yang harus dibayarkan kepada keluarga majikan.

Pengorbanan

Pengorbanan Tuti sungguh luar biasa. Meski kini di penjara, hasil sebagai TKI sudah dirasakan. Di antaranya, rumah hasil kerja keras Tuti dan ibunya yang pernah jadi TKI di Arab Saudi. Rumah bercat hijau berkeramik gelap itu menandai setitik keberhasilan mereka merantau di luar negeri. Bisa memiliki rumah dengan bangunan tembok dan keramik menunjukkan kerja keras yang tak sia-sia. Namun, kondisi rumah hasil jerih payah mereka sudah lapuk. Atap rumah sudah banyak berlubang dan terkikis hujan.

Keputusan berangkat ke luar negeri dilakukan karena mencari pekerjaan di Majalengka tergolong sulit. Sekalipun infrastruktur dasar sudah cukup baik, tak banyak pabrik di sana. Mata pencarian yang mungkin dilakoni di kampung ialah buruh tani. Padahal, lahan pun mereka tak punya.

Risiko lain yang harus dihadapi TKI, selain hilang di negeri orang seperti yang dialami Santi (25) dan Yati (25), warga Bangkalan, juga jadi korban penganiayaan dan perkosaan. (EKI/REK/AHA/KOR/RAZ/RUL/ETA/NIK/WIE)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com