Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Polisi Sita 100 Kg Bahan Peledak dari Malaysia

Kompas.com - 10/09/2013, 19:58 WIB
PONTIANAK, KOMPAS.com — Di tengah belum adanya kejelasan soal ratusan dinamit yang hilang beberapa waktu lalu, polisi di Kalimantan Barat menyita 100 kilogram (1 kuintal) bahan peledak yang diduga diselundupkan dari Malaysia.

Kepolisian mengakui, penangkapan ini sebagai upaya mengantisipasi terorisme. Jika jatuh ke tangan teroris, bahan peledak itu cukup untuk meledakkan gedung.

Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Barat Brigadir Jenderal (Pol) Tugas Dwi Apriyanto menuturkan, bahan peledak yang disita itu jenis porous grain ammonium nitrate dan porous prilled ammonium nitrate. Penangkapan dilakukan di Kabupaten Sambas.

Menurut pengakuan tersangka, bahan peledak itu dibeli di Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang, yang berbatasan dengan Sarawak, Malaysia. Bahan peledak itu awalnya disita dari tersangka berinisial Ba di Sintete, Semparuk, Kabupaten Sambas.

”Setelah kasus dikembangkan, ternyata bahan peledak itu milik tersangka Wa,” kata Tugas dalam konferensi pers di Markas Polda Kalbar, Selasa (10/9/2013) siang.

Setelah ditangkap, kedua tersangka ditahan di Markas Kepolisian Resor Sambas dan kasusnya ditangani di sana. Keduanya, Ba dan Wa, sempat dibawa ke Polda Kalbar sebelum kembali ditahan di Polres Sambas.

Bahan peledak yang dikemas dalam empat kardus itu rencananya akan dikirimkan kepada seorang penerima berinisial Is di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau. Saat ini, polisi masih menyelidiki keberadaan Is. Awalnya, berdasarkan pengakuan Wa, bahan peledak itu akan digunakan untuk membuat bom ikan.

”Ini merupakan upaya kami mengantisipasi terorisme. Jika jatuh ke tangan teroris, bahan sebanyak itu bisa meledakkan satu gedung. Apalagi, ini beredar tanpa izin dan dilakukan secara sembunyi-sembunyi,” tutur Tugas.

Bahan peledak itu memang bisa digunakan untuk bahan dasar pupuk, tetapi peredarannya harus disertai izin.

Kedua tersangka dijerat dengan Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 1951 dengan ancaman 20 tahun penjara dan UU No 12/1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman Pangan dengan ancaman hukuman lima tahun penjara.

Pengungkapan kasus itu bermula dari penangkapan Ba di Pelabuhan Sintete. Anak buah kapal Terigas III, kapal perintis yang melayani rute Sambas-Tanjung Pinang, itu menjadi kurir bahan peledak dengan memanfaatkan profesinya.

Dari Malaysia

Kepala Kepolisian Resor Sambas Ajun Komisaris Besar Wandy Aziz menjelaskan, setelah Ba tertangkap hari Minggu lalu, dan mendapat keterangan awal darinya, polisi bergerak ke rumah Wa. Namun, tersangka Wa sudah kabur begitu tahu bahwa Ba tertangkap.

Polisi lalu bernegosiasi dengan keluarga dan baru pada Senin siang Wa berhasil ditemukan dan dibawa ke Polres Sambas.

”Upaya kabur itu justru menegaskan bahwa sejak awal Wa tahu tindakannya membeli dan mendistribusikan bahan peledak itu adalah tindakan yang salah,” tutur Wandy.

Kedua tersangka pernah mengirimkan dua karung bahan peledak kepada Is di Tanjung Pinang. Ini adalah upaya pengiriman yang kedua setelah pengiriman yang pertama berjalan mulus.

Wa menjelaskan, bahan peledak itu dibeli seharga Rp 750.000 per karung di Jagoi Babang, yang berbatasan dengan Negara Bagian Sarawak, Malaysia. Barang produksi China itu diperoleh dari Serian, Sarawak.

”Saya dan Is dulu sama-sama menjadi tukang ojek yang memasukkan gula dari Malaysia ke Jagoi Babang. Setelah Is pindah ke Tanjung Pinang, dia minta dikirim barang itu. Karena sama-sama tahu tempat membelinya di Jagoi Babang, saya beli dan akan saya jual kepadanya Rp 950.000 per karung,” ungkap Wa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com