Lestari dan Igoy tak ditolak UKM tempat mereka bergabung meski secara jender termasuk minoritas. Penolakan UKM pada jender tertentu atau UKM yang berkecenderungan memilih anggota hanya berdasarkan jender tertentu ternyata masih berlangsung.
Adek Risma Dedees dan Aai Syafitri dari Program Studi Sastra Indonesia Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Padang (UNP) menuturkan, di kampus masih ada beberapa UKM yang membatasi keanggotaan berdasarkan jender.
”Semestinya UKM mengakomodasi setiap minat, bakat, serta keahlian mahasiswa. Tanpa melihat perbedaan jenis kelamin, pengurus unit kegiatan selayaknya memberikan pelayanan dan transformasi ilmu yang sama kepada setiap mahasiswa yang bergabung,” ujar Adek.
Alasan penolakan itu bermacam-macam, seperti tata tertib organisasi. ”Di salah satu UKM, keterlibatan mahasiswa perempuan dibatasi dalam kepengurusan. Alasannya, semakin banyak keterlibatan perempuan, semakin besar peluang berpacaran sesama pengurus,” ujar Adek.
Dengan aturan semacam itu, dari puluhan anggota UKM tersebut, keterlibatan perempuan bisa dihitung jari. Tahun ini UKM itu hanya menerima satu anggota perempuan.
Terkait hal itu, Thaviv Heri, anggota Unit Kegiatan Pusat Pengembangan Ilmiah dan Penelitian Mahasiswa UNP, mengungkapkan, keterlibatan mahasiswa dalam UKM berdasarkan perbedaan jenis kelamin hanya akal-akalan. Tak ada dasar kuat membatasi hak seseorang mengembangkan kemampuannya.
”Itu terjadi hanya karena keinginan segelintir orang, tetapi dampaknya lebih besar, jadi banyak yang ikut-ikutan,” katanya.
Ia menjelaskan, UNP memiliki beberapa UKM dengan beragam karakteristik. Walaupun pada tata tertib organisasi tak dicantumkan perbedaan tugas dan fungsi berdasarkan jenis kelamin, penerapan di lapangan tetap membedakannya berdasarkan jender.
Kecenderungan UKM yang melibatkan mahasiswa berdasarkan perbedaan jender bukan zamannya. Kemampuan seseorang tak bisa ditakar dari perbedaan jender. Ketangguhan dan loyalitas di lapangan yang menentukan.