Salin Artikel

Kisah Penyandang Disabilitas dan Hak Politik yang Terabaikan di Kota Bima (Bagian 2)

Menurutnya, panitia pemungutan suara di TPS belum menempatkan pemilih penyandang disabilitas sebagai skala prioritas.

Panitia waktu itu masih memperlakukannya sama dengan pemilih umum yang secara fisik normal, seperti halnya mengharuskan ikut mengantre sesuai urutan formulir yang diserahkan.

"Sebenarnya yang ramah itu prioritaskan dulu kami-kami ini. Itu keinginan kami tapi namanya masyarakat mana yang duluan kasih formulir itu yang dipanggil dulu, jadi mereka duduk antre saya juga antre sampai berjam-jam itu," kenangnya.

Sementara terkait akses di TPS, Ahmad mengaku, saat itu tidak menemukan kendala yang begitu berarti, sebab ia didampingi langsung oleh anak kandungnya.

Ahmad berharap, Pemilu 2024 ini bisa melahirkan pemimpin dan wakil rakyat yang menaruh perhatian khusus pada kelompok disabilitas. Perhatian itu tidak saja dalam bentuk penyaluran bantuan yang sifatnya monoton seperti halnya tongkat untuk tunanetra atau kursi roda bagi yang mengalami kelumpuhan.

Harapan besarnya, ada bantuan modal usaha sehingga para disabilitas tak lagi bertumpu pada jasa pijat yang hasilnya tak menentu tiap bulannya.

"Selama ini bantuan hanya tongkat saja, tongkat di kamar itu sudah satu tas. Maunya kami ada modal usaha untuk penuhi kebutuhan sehari-hari. Kalau mengandalkan jasa pijat ini hasilnya tidak menentu, belum lagi harus bayar kontrakan Rp 6 juta setahun," kata Ahmad.

Pemilih disabilitas belum dilirik

Data yang diperoleh Kompas.com dari Komisi Pemilihan Umum, pemilih disabilitas yang terdaftar dalam DPT Pemilu 2024 mencapai 943 orang di Kota Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Angka ini cukup potensial mendongkrak perolehan suara bagi Calon Anggota Legislatif (Caleg) di Pemilu 2024.

Kendati demikian, pemilih berkebutuhan khusus ini rupanya belum sepenuhnya dilirik oleh para politikus dan partai politik.

Ketua DPC PDIP Kota Bima, Ahmad Yadiansyah mengakui belum secara khusus menjaring suara dari kelompok disabilitas yang ada di wilayah ini.

"Untuk kampanye ke kalangan mereka ini memang sampai sekarang belum secara khusus kami lakukan," kata dia saat ditemui di kantor DPC PDIP Kota Bima.

Meski belum sempat bertatap muka untuk menarik simpati kelompok disabilitas di Pemilu 2024, Ahmad meyakinkan bahwa dalam waktu dekat ini akan mengagendakan pertemuan dengan mereka.

Selain untuk menjaring suara, agenda tersebut rencananya akan dimanfaatkan untuk menyerap aspirasi para penyandang disabilitas dengan beragam tingkat keterbatasannya.

"Nanti kita buat agenda untuk mereka, kita diskusi apa yang mereka harap dari pemerintah kedepan," ujar pria yang kini ikut mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Provinsi NTB Dapil I Pulau Sumbawa itu.

Belum adanya perhatian serius terhadap pemilih disabilitas ini juga terungkap dari pengakuan Darussalam. Dia merupakan Caleg DPRD Kota Bima Dapil 4 yang meliputi wilayah Kecamatan Rasanae Timur dan Raba.

Politikus yang diusung Partai Gelombang Rakyat (Gelora) Indonesia itu bahkan belum memiliki data jumlah pemilih disabilitas di daerah pemilihannya.

Selama tahapan kampanye ia juga tak pernah mengagendakan pertemuan dengan kelompok ini untuk menyampaikan visi dan misinya dalam mencalonkan diri sebagai anggota legislatif.

"Menjaring suara mereka secara langsung belum, ada beberapa di RT saya ini kadang-kadang mereka (penyandang disabilitas) tidak nyoblos juga," kata pria yang juga menjabat Ketua RT 03 di Kelurahan Penatoi.

Menurut dia, ada beberapa alasan mengapa warganya yang berkebutuhan khusus tak mau memberikan hak suara meski sudah terdaftar di DPT, salah satunya yakni mereka menganggap Pemilu tak akan berdampak terhadap kondisi sosial dan perekonomian mereka.

Persoalan ini, tegas dia, bukan alasan utamanya tak mau menjaring secara khusus pemilih disabilitas di daerah pemilihannya.

Menurutnya, pemilih disabilitas sama saja dengan pemilih yang secara fisik normal sehingga tak perlu mendapat perlakukan khusus.

"Kalau saya tidak mau menyekat, bagi saya mereka sama saja dengan kita tidak ada bedanya. Jadi sulit ketika mereka disekat seperti itu," ungkapnya.

Darussalam menilai penyekatan terhadap pemilih disabilitas justru akan membuat mereka merasa semakin terkucilkan.

Karena itu ia lebih memilih menyetarakan perlakuan, termasuk dalam hal mengentaskan persoalan ekonomi yang dihadapi kelompok tersebut.

"Ke depan kita akan cek data kira-kira masalah mereka ini apa, tapi sepengetahuan saya paling utama akses ekonomi, tidak hanya penyandang disabilitas angka pengangguran kita juga masih tinggi," kata Darussalam.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Bima mencatat 112.347 warga di 41 kelurahan pada lima kecamatan tercatat dalam DPT Pemilu 2024.

Dari 112.347 pemilih tersebut, 943 orang di antaranya merupakan pemilih disabilitas dengan berbagai kategori seperti mengalami keterbatasan fisik, mental, sensorik, dan intelektual.

Semenjak dimulainya tahapan Pemilu 2024, berbagai kegiatan sudah dilakukan termasuk sosialisasi dengan menyasar kelompok disabilitas.

Materinya mencakup tahapan penyelanggaraan pemilu, syarat memberikan hak suara di TPS, daerah pemilihan, sampai jenis surat suara Pemilu 2024.

Namun demikian, peserta disabilitas yang diundang masih gabung dengan segmen pemilih lain. Itu pun jumlah yang dilibatkan baru sebagian kecil dan terbatas untuk disabilitas tunanetra, tunarungu, serta tunawicara.

"Sosialisasi yang semua pesertanya disabilitas belum pernah kalau yang diselenggarakan KPU," ungkap Komisioner Divisi Sosialisasi, Partisipasi Masyarakat dan SDM KPU Kota Bima, Yeti Safriati saat ditemui di kantornya, Jumat (12/1/2024).

Yeti Safriati menyadari jumlah pemilih disabilitas yang diundang mengikuti kegiatan sosialisasi belum cukup mewakili. Namun dia berharap materi yang diterima bisa diteruskan ke penyandang disabilitas lain.

Menurutnya, ada banyak tantangan yang dihadapi penyelenggara dalam mewujudkan pemilu ramah bagi kelompok disabilitas di wilayah ini.

Dalam hal sosialisasi misalnya, KPU Kota Bima belum memiliki pemateri khusus sesuai kategori keterbatasan para penyandang disabilitas.

"Kalau dibilang mewakili belum, susah. Kadang kami juga bingung apakah mereka mengerti atau tidak apa yang kami sampaikan, tapi sebagai penyelenggara tetap kita maksimalkan," terangnya.

Persoalan lain, lanjut Yeti, hanya penyandang disabilitas tertentu yang memiliki komunitas di wilayah ini, seperti kelompok tunanetra dan tunawicara.

Sementara di luar itu tidak memiliki komunitas sehingga menyulitkan penyelanggara melibatkan mereka dalam setiap kegiatan sosialisasi Pemilu 2024.

Saat sosialisasi langsung di tiap kelurahan saja, menurutnya masih banyak disabilitas yang tidak mau ikut berpartisipasi.

"Kadang juga kita undang tapi enggak hadir. Biasa hadir dikegiatan kami teman-teman yang tidak bisa melihat, tidak bisa bicara, kesulitan mendengar, selain dari itu tidak ada," ungkapnya.

TPS ramah disabilitas

Kendati menemui banyak kendala dalam menghadapi pemilih disabilitas, Yeti Safriati optimistis bisa mewujudkan pelayanan yang ramah bagi kelompok ini saat pemungutan suara di TPS.

Seperti misalnya memastikan lokasi TPS tidak berundak, kemudian pintu masuk TPS sampai bilik suara diperluas agar mudah diakses oleh semua kategori pemilih disabilitas.

Pemilih dengan segmen ini juga akan menjadi prioritas untuk memberikan hak suara lebih dulu ketika sudah berada di TPS.

"Bagi yang tunanetra kami menyediakan alat bantu template braille. Apakah mereka gunakan atau tidak dikembalikan ke mereka, karena tidak semua disabilitas itu bisa membaca huruf braille," jelasnya.

Yeti menegaskan, KPU tidak menyediakan petugas khusus untuk mendampingi pemilih disabilitas saat memberikan hak suara di TPS.

Namun jika dibutuhkan dan atas permohonan pemilih, maka pendampingan akan dilakukan dengan tetap menjaga kerahasian pilihan yang bersangkutan.

"Tergantung pemilihnya, misalkan minta tolong ke penyelenggara maka akan didampingi,” ujarnya.

Tantangan dalam mewujudkan pemilu ramah bagi pemilih disabilitas rupanya tidak hanya dialami KPU Kota Bima. Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Kota Bima juga menemui banyak kesulitan.

Seperti misalnya tak memiliki pendamping khusus atau penerjemah bagi kelompok disabilitas tunarungu dan tunawicara.

"Bagi teman-teman yang tuli dan bisu itu kami kesulitan karena tidak ada penerjemah," kata Ketua Bawaslu Kota Bima, Atina.

Atina menyampaikan tidak memiliki pendamping khusus saat memberikan pendidikan politik bagi pemilih disabilitas. Namun, dalam beberapa kali kegiatan sosialisasi yang digelar baik yang semua pesertanya disabilitas atau gabungan pihaknya memanfaatkan orang terdekat dari mereka untuk menerjemahkan materi.

Menurutnya, penyandang disabilitas termasuk segmen pemilih yang sangat rentan kehilangan hak pilihnya saat Pemilu. Karenanya, selain bertugas memberikan pendidikan politik, pihaknya juga intens mengawasi dan memastikan data mereka terdaftar di DPT.

"Kalau pemilih disabilitas yang tidak terdata di DPT sejauh ini tidak ada di Kota Bima. Mereka ini punya kelompok dan aktif," terangnya.

Bawaslu, lanjut dia, sudah mencatat pemilih disabilitas yang terdaftar di DPT Pemilu 2024 ini sebanyak 943 orang dari semua kategori.

Terhadap pemilih yang tersebar di lima kecamatan itu, Bawaslu sudah menyampaikan himbauan kepada KPU untuk memetakan dan memastikan TPS ramah bagi kelompok tersebut.

"TPS di tempat ada pemilih disabilitas harus ramah dan pastikan ada pendampingnya," imbau Atina.

Jika KPU dan Bawaslu mencatat ada 943 pemilih disabilitas di Kota Bima, berbeda halnya dengan data yang dimiliki Dinas Sosial (Dinsos) Kota Bima.

Menurut data Dinsos, penyandang disabilitas di wilayah ini ada 884 orang dengan kategori disabilitas fisik 414 orang, mental 129, sensorik 229, intelektual 58 dan ganda 54 orang.

Dari 884 orang tersebut, ada sekitar 813 orang yang usianya wajib memilih pada Pemilu 2024, sedangkan 71 orang lainnya belum memenuhi syarat usia.

"Data ini kita terima dari pendamping sosial di kelurahan, ada juga yang dilaporkan sendiri oleh pihak keluarga," kata Kepala Bidang Rehabilitasi Sosial Dinsos Kota Bima, Wildan saat ditemui di kantornya.

Wildan mengungkapkan, 884 orang penyandang disabilitas yang tercatat baru sebatas data yang ditemukan pendamping sosial bersama pihak kelurahan di lapangan.

Menurutnya masih banyak dari mereka yang luput dari pendataan akibat disembunyikan pihak keluarganya dengan alasan aib.

Keluarga beralasan masih mampu membiayai anggota keluarganya yang memiliki keterbatasan ketimbang mengharap bantuan pemerintah yang mengharuskan data dan identitasnya terekspos keluar.

"Padahal pendataan itu bukan hanya untuk bantuan, tapi mereka punya hak untuk hidup dan diakui sebagai warga negara, kebanyakan yang kita temukan juga tidak memiliki identitas diri, jadi kami yang buatkan dengan dukcapil," jelasnya.

Gerakan Masyarakat Pemilih Cerdas (Gemapis) Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), pesimistis Pemilu 2024 di Kota Bima ramah bagi kelompok disabilitas.

Hal itu bukan tanpa alasan, tetapi fakta yang ditemukan sejauh tahapan pemilu berlangsung di wilayah ini, baik KPU maupun Bawaslu disebut belum benar-benar serius mengawal hak politik bagi pemilih disabilitas.

Dalam hal sosialisasi misalnya, penyelenggara belum menyentuh semua pemilih disabilitas dengan berbagai kategori yang ada di lima kecamatan di Kota Bima.

"Belum menyentuh semua dan intensitas sosialisasi juga masih sangat kurang," kata Koordinator Gemapis Bima, Sofiyan Asy'ari kepada Kompas.com, Jumat (19/1/2024).

Selain belum menyentuh semua pemilih disabilitas, penyelenggara dinilai tak memiliki keseriusan bahkan terkesan membuat kegiatan untuk sekadar menggugurkan kewajiban semata bagi kelompok tersebut.

Dalam beberapa kali kegiatan yang diikuti dan melibatkan langsung pemilih disabilitas, Sofiyan Asy'ari melihat penyelenggara tidak menyediakan penerjemah bagi kelompok tunarungu dan tunawicara.

Kondisi ini tentu membuat materi yang hendak disampaikan penyelenggara tidak bisa dipahami oleh kelompok tersebut.

"Kami tidak mempersoalkan peserta disabilitas digabung dengan peserta umum, tetapi harus ada penerjemah. Selama ini kan tidak ada penerjemah dari KPU," ungkapnya.

Pemilu inklusif, kata Pian sapaan akrab pria tersebut, mestinya tidak sebatas menjadi jargon dalam Pemilu 2024. Optimisme penyelenggara ini mestinya ditandai aksi nyata dan serius di lapangan, salah satunya dengan memastikan setiap pemilih disabilitas mendapat hak politik yang sama.

"Bagaimana strateginya tinggal diatur. Pasti bisa, tapi tergantung keseriusan penyelenggara saja," kata Pian.

Rentan manipulasi

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2023 Tentang Tenetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, salah satunya mengatur soal TPS yang mudah dijangkau penyandang disabilitas.

Hal ini sebagai upaya untuk memastikan setiap warga negara bisa menggunakan hak politiknya baik menjadi peserta, penyelenggara maupun memilih secara langsung, umum, bebas dan rahasia di TPS.

Bagi pemilih disabilitas, kata Sofiyan Asy'ari, regulasi memberi ruang untuk mereka mendapat pendampingan orang lain atas persetujuan sendiri.

Kendati itu memudahkan pemilih disabilitas khususnya tunanetra, menurutnya sangat rentan terjadi manipulasi pilihan di bilik suara oleh pendamping.

Khusunya untuk surat suara DPR RI, DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota yang tidak difasilitasi template braille.

Sofiyan mendorong alat bantu bagi tunanetra ini bisa dilengkapi untuk semua jenis surat suara pemilu, sebab kerentanan ini bisa berisiko menimbulkan konflik di daerah.

"Siapa pun yang mendampingi tak ada jaminan pilihan tunanetra itu tidak dimanipulasi, makanya template braille harus untuk semua surat suara supaya tidak ada kecurigaan yang bisa memicu konflik," jelasnya.

Menurutnya, tak kalah penting dalam mewujudkan pemilu ramah disabilitas ialah penyediaan bilik khusus dan terpisah di TPS bagi pemilih disabilitas. Dengan begitu mereka akan merasa nyaman memilih tanpa harus terdesak pemilih umum yang banyak mengantre di TPS.

"Bilik khusus ini nantinya dibangun pada TPS yang memang ada pemilih disabilitas, makanya perlu dilakukan pemetaan setelah pendataan pemilih dilakukan oleh KPU," kata Sofiyan As'ary.

https://regional.kompas.com/read/2024/01/30/160000478/kisah-penyandang-disabilitas-dan-hak-politik-yang-terabaikan-di-kota-bima

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke