Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Alat Pemantau Gas Akan Dipasang di Puncak Merapi

Kompas.com - 28/03/2014, 14:05 WIB

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) menyiapkan alat untuk memantau kandungan gas khususnya karbondioksida atau CO2 yang akan ditempatkan di sekitar puncak Gunung Merapi.

"Kami sedang menyiapkan desainnya. Diharapkan, peralatan untuk memantau CO2 sudah dapat dipasang tahun ini," kata Kepala Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Subandriyo di Yogyakarta, Jumat (28/3/2014).

Menurut dia, pantauan dari sensor CO2 tersebut akan dapat dipantau secara realtime di kantor BPPTKG sehingga petugas bisa melakukan identifikasi dengan lebih menyeluruh, tidak hanya dari aspek seismik saja.

BPPTKG, lanjut dia, sudah pernah memiliki peralatan untuk memantau kondisi gas, namun peralatan tersebut rusak akibat terkena letusan freatik yang terjadi pada 18 November 2013. Peralatan tersebut merupakan bantuan dari Perancis.

Selain menyiapkan alat untuk memantau kondisi gas CO2, BPPTKG juga akan melakukan sampling gas secara rutin satu bulan sekali di Merapi.

Subandriyo mengatakan, kejadian embusan gas yang kerap terjadi pascaerupsi 2010 menjadi tantangan tersendiri bagi BPPTKG untuk memantau perkembangan gunung api aktif tersebut dengan lebih valid.

Ia berharap, tambahan alat pemantau gas tersebut bisa membantu petugas untuk mendeteksi gejala awal kejadian embusan gas karena dalam beberapa kejadian terakhir, belum dapat ditentukan secara pasti gejala awalnya.

"Selalu ada gejala awal dari sebuah kejadian, termasuk munculnya embusan gas di Merapi. Sekarang tinggal bagaimana cara mengetahui gejala awal itu," katanya.

Subandriyo mengatakan, kandungan gas, khususnya CO2 di Merapi mengalami peningkatan pascaerupsi 2010. Tingginya kandungan gas ini menyebabkan banyaknya kejadian embusan yang membawa material vulkanik sehingga menyebabkan hujan abu dan pasir di lokasi sekitar gunung.

Tingginya kandungan CO2 juga menyebabkan sifat letusan Merapi menjadi eksplosif. Namun demikian, Subandriyo belum dapat memastikan penyebab meningkatnya kandungan gas di Merapi pascaerupsi 2010.

"Gas yang berada di tubuh Merapi akan selalu bergerak untuk keluar. Ini yang menyebabkan terjadinya embusan. Apabila di kepundan ada sumbatan, maka embusan gas bisa membawa material vulkanik," katanya.

Kejadian embusan gas pada Kamis (27/3), lanjut Subandriyo juga tidak membawa material baru, tetapi hanya pasir kasar dan abu. "Tidak ada magma, sehingga kejadian itu bukan letusan," katanya.

Perubahan sifat Gunung Merapi seperti yang terjadi sekarang juga pernah terjadi pascaerupsi 1872. Pada saat itu, letusan Merapi bersifat eksplosif. Namun, sifat letusan Merapi berubah kembali pada 1882 yaitu dengan membentuk kubah lava seperti yang selama ini selalu dipahami oleh masyarakat.

Status Merapi pun masih ditetapkan aktif normal dan Subandriyo menyatakan bahwa masyarakat tidak perlu panik namun tetap waspada. "Letusan Merapi juga tidak bisa ditentukan akan terjadi secara periodik, misalnya empat tahun sekali," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com