KOMPAS.com – Yolivia Endeng (15) dan Jerianus Mugar (8) sebatang kara. Keduanya telantar setelah ayah mereka meninggal dunia pada 2016 dan sang ibu memiliki pasangan hidup baru lalu merantau ke luar Manggarai Timur.
Kakak adik ini berasal dari Kampung Randang, Desa Mokel, Kecamatan Kota Komba Utara, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur.
Kini Yolivia duduk di kelas III sekolah menengah pertama di Kecamatan Kota Komba Utara dan Yerianus Mugar duduk di kelas II sekolah dasar di satu lembaga pendidikan di Desa Mokel, Kecamatan Kota Komba.
Baca juga: TKW Banyuwangi Stroke dan Telantar di Malaysia, P4MI Bantu Melacak
UPDATE : Kompas.com membuka kesempatan pembaca untuk membantu kisah ini. Uluran tangan Anda dapat diberikan melalui dengan cara klik di sini.
Mereka bercita-cita menjadi guru. Kakak adik ini memiliki semangat untuk mengenyam pendidikan demi meraih cita-cita bagi masa depan hidup mereka.
“Ayah kami sudah meninggal dunia pada 2016 lalu sementara ibu mereka memilih untuk memiliki pasangan hidup baru dan merantau ke luar Manggarai Timur."
"Ibu merantau ke Kalimantan saat Yerianus Mugar berusia 2 tahun,” ujar Yolivia saat dihubungi Kompas.com melalui telepon selulernya, Kamis (2/5/2024).
Yolivia, yang biasa dipanggil Jein, dan adiknya Yerianus Mugar biasa dipanggil Joi mengisahkan kehidupan mereka.
Keduanya mengaku sangat menderita saat ibu memilih hidup berkeluarga lagi dengan pasangannya.
Saat ayah meninggal dunia, ungkap Jein, mereka tinggal bersama ibu di rumah peninggalan sang ayah.
Seiring waktu berjalan, kira-kira anak bungsu (adik Joi) baru berusia dua tahun, ibu memilih hidup berkeluarga lagi dan mereka berangkat ke Kalimantan.
“Setelah itu, kami tinggal bersama kakak kandung dari ayah bernama Yohanes Nugat di Kampung Randang hingga saat in."
Baca juga: ODGJ Asal Pacitan Telantar di Riau, Sempat Dirawat Polisi
"Kami berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki dari rumah Bapak Yohanes Nugat. Saat ini Bapak Yohanes yang menghidupkan kami berdua di tengah keterbatasan ekonomi keluarga,” jelasnya.
Jein mengisahkan, dia selalu membayangkan wajah sang ayah yang begitu sayang kepada mereka. Ini membuatnya menangis. Tetapi, ia selalu berusaha agar tidak dilihat oleh adiknya.
Jein membayangkan kenangan keluarga kecil mereka, apalagi ketika sang ayah masih hidup. Mereka biasanya makan bersama.