GROBOGAN, KOMPAS.com - Masjid Baiturrahman di Desa Menduran, Kecamatan Brati, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah menjadi saksi bisu penyebaran Agama Islam pada era abad 17.
Masjid kuno peninggalan Ki Ageng Kafiluddin, ulama kesohor asal Madura ini, diriwayatkan didirikan pada tahun 1700 Masehi.
Menariknya, bangunan bernilai historis yang semula didominasi berkonstruksi kayu ini berlokasi tepat di bibir Sungai Lusi.
Baca juga: Masjid Besar Majalaya, Masjid Tua Saksi Bisu Perang Ganeas Abad VII
Meski sungai besar yang acap kali meluap saat intensitas hujan tinggi, Masjid Baiturrahman justru tak pernah sekalipun tersentuh banjir.
Kamis (28/3/2024), Kompas.com berkesempatan berkunjung ke Masjid yang masih berada satu kawasan dengan Pondok Pesantren Salafiyah, Al Marom.
Untuk menuju ke sana dari perkotaan Purwodadi, rute tercepat harus melewati jembatan gantung kecil yang membelah Sungai Lusi. Perjalanan darat hanya sekitar lima menit setelah kemudian menyusuri jalan setapak.
Sore itu cuaca cukup cerah, tabuhan bedug menggema dari atas Menara bata merah di samping Masjid Baiturrahman. Disusul kemudian muazin mengumandangkan adzan shalat ashar.
Seketika itu, puluhan santri tak terkecuali warga sekitar pun berdatangan untuk shalat berjemaah di ruang utama seluas 6x8 meter.
Pengasuh Ponpes Al Marom sekaligus keturunan ke-delapan Ki Ageng Kafiluddin, Gus Lizamuddin Kafi menyampaikan, bangunan Masjid Baiturrahman yang semula dirancang menyerupai Masjid Menara Kudus dipoles sedemikian rupa untuk membungkus keasliannya.
Karakteristik yang masih dipertahankan yaitu tiga Menara Masjid menjulang tinggi mengelilingi Masjid Baiturrahman.
Tiga Menara Masjid yang berkonstruksi bata merah berikut gerbang serta dindingnya menjadi penanda Masjid lawas itu mengadaptasi corak Masjid Al Aqsha kreasi Syekh Ja'far Shodiq atau Sunan Kudus. Masjid Al Aqsha dan menara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
"Pada tahun 1998 pernah didatangkan pakar konstruksi dari Jepang. Ia terkejut karena menurutnya, bangunan asli usia ratusan tahun ini selazimnya sudah rusak namun tetap saja kokoh dari masa ke masa. Sejak saat itu pula tidak pernah dirombak. Aslinya mirip Masjid Menara Kudus dengan bata merah dan kayu jati. Namun pertimbangan leluhur ditutup dengan dilapisi tembok," kata Gus Lizam.
Selain itu, secara turun temurun, Masjid Baiturrahman di awal masanya dikisahkan menjadi tempat pertemuan para Waliyullah atau para wali songo.
"Dulu Masjid Baiturrahman hanya ada satu tiang di tengah. Namun, perkembangannya kini ada empat tiang. Itu ciri khas Masjid Jawa yang digunakan untuk pertemuan para wali. Sudah banyak tokoh agama yang mengulas ini," ungkap Gus Lizam.
Baca juga: Cerita Pembangunan Masjid Almuttaqin Yosonegoro Gorontalo, Berawal dari 4 Orang