SIKKA, KOMPAS.com - Maria Goreti Nona terlihat sibuk menenun di samping rumahnya, Selasa (12/12/2023) pagi. Jemarinya begitu lincah. Hanya saja ia tak tahan duduk lantaran usianya yang sudah tak mudah lagi.
"Ini saya tenun untuk simpan di rumah, tidak untuk dijual. Saya sudah umur 58 tahun," ucap Mama Mia, sapaannya, saat ditemui di rumahnya di Desa Wodamude, Kecamatan Magepanda, Kabupaten Sikka, Selasa.
Baca juga: Apresiasi bagi Penenun Sulsel, Didi Budiardjo Angkat Koleksi Tenun Wajo
Mama Mia menuturkan, mulai menenun sejak usia 15 tahun. Pengalaman itu ia dapatkan dari ibunya.
Setiap hari sang ibu melatihnya, mulai dari mengikat benang, membuat motif, sampai proses menenun hingga menjadi kain.
Namun karena faktor usia, Mama Mia hanya menerima jasa tenun. Setiap pesanan ia kerjakan selama satu minggu dengan biaya sebesar Rp 200.000.
Baca juga: Mengenal Tenun Telepoi, Simbol Kekuatan Perempuan Suku Rendo NTT
"Kalau semua bahan saya tanggung, terus saya ikat sendiri sampai jadi selembar kain itu biayanya Rp 700.000," ujarnya.
Mama Mia bercerita, dulu ibunya mengatakan bahwa di Sikka, kemampuan menenun seperti sebuah kewajiban yang harus dimiliki seorang perempuan.
Hanya saja, saat ini banyak yang tidak berminat untuk menenun khususnya kaum muda. Kondisi ini bukan tanpa alasan.
Namun yang paling menonjol adalah karena faktor ekonomi. Hasil tenun yang didapat tidak bisa menjamin untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
Mama Mia mencontohkan, selama sebulan ia menerima pesanan tiga sampai empat sarung tenun. Maka sebulan ia hanya mendapat Rp 600.000 hingga Rp 700.000.
Baca juga: Tenun Sumba: Motif, Pewarna Alami, dan Perkembangan
Uang tersebut harus dibagi sebaik mungkin untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Bahkan ia terpaksa mengurungkan niat untuk melanjutkan sekolah anaknya ke bangku kuliah.
"Anak Saya tamat SMA satu tahun lalu tapi tidak bisa lanjut kuliah karena tidak ada biaya. Kalau harap tenun cukup susah apalagi dengan usia saya sudah tua. Apalagi suami saya sudah meninggal 16 tahun lalu," ucapnya.
Hal serupa diungkapkan Katarina Iwa (80). Oma Katarina, sapaannya, menuturkan banyak anak muda yang enggan menenun lantaran menilai tidak bisa menjamin kehidupan mereka kelak.