BANGKA, KOMPAS.com - Kota Pangkalpinang yang merupakan ibu kota Provinsi Kepulauan Bangka Belitung baru saja memperingati hari jadi ke-266.
Sebagai salah satu kota pelabuhan tertua di Pantai Timur Sumatera, Pangkalpinang memiliki banyak situs sejarah warisan Belanda. Salah satunya makam orang-orang Belanda atau kerkhof yang masih terjaga hingga saat ini.
Salah satu yang unik dari kerkhof ini adalah keberadaan sejumlah makam wanita asal Jepang.
Baca juga: 12 Wanita Muda Dipekerjakan sebagai PSK, IRT Menyambi Jadi Muncikari Ditangkap
Sedikitnya terdapat sepuluh makam wanita Jepang. Makam itu ditandai dengan nama-nama khas Jepang yang tertera pada batu nisan.
Namun seiring perjalanan waktu, sebagian tulisan pada makam mulai memudar dan tidak terbaca lagi.
Sejarawan Bangka Belitung Akhmad Elvian mengatakan, wanita-wanita asal Jepang diperkirakan masuk ke Bangka seiring kolonisasi Belanda pada abad ke-18.
Wanita yang diyakini berparas cantik itu diduga berasal dari wilayah selatan Jepang yang daerahnya miskin.
Para wanita tersebut kemudian dibawa ke Hindia Belanda sebagai Karayuki San atau penjaja seks komersial (PSK).
"Diperkirakan masuk dari Singapura, kemudian menyebar ke Medan, Palembang, Batavia, Bangka dan Surabaya," kata Elvian kepada Kompas.com di Pangkalpinang, Selasa (19/9/2023).
Elvian mengungkapkan, keberadaan PSK dari luar negeri erat kaitannya dengan perekonomian daerah karena Bangka memiliki tambang timah.
PSK asal Jepang tersebut diminati para lelaki hidung belang karena mereka memang sudah dipersiapkan untuk menghibur.
Karena pelanggannya kebanyakan orang Eropa berkulit putih, maka istilah hidung belang kerap juga disebut pria hidung putih.
"Orang Eropa yang ada di Bangka berasal dari berbagai negara dan untuk penyebutannya sering disebut dengan bangsa asing kulit putih dan yang laki-laki disebut pria berhidung putih," ujar Elvian.
"Pada awalnya status sosial orang Jepang dikelompokan kelas dua bersama orang Arab, China dan timur asing lainnya. Kemudian pada 1898, status hukum orang Jepang disamakan dengan Belanda."
Dengan adanya penyetaraan status orang Jepang dengan Belanda, maka gengsi dan kehidupan sosial mereka juga disamakan. Termasuk juga adanya hak untuk dimakamkan di tempat yang sama.