GORONTALO, KOMPAS.com – Bilo-bilohipo ami. Timehu polubo lami. Yiyohu to tidi lami. Salendangi polambea (Lihat, lihatlah kami. Dengan gaya persembahan kami. Permainan tarian kami. Selendang disandang).
Banta-banta puluwa. To yiladia hitidia hitahuwa. Bolo hi ile-ileya. Polombuli to yunuta (Puteri-puteri tersayang. Di istana menari berhadapan. Mulai bersiap-siap. Kembali akan berlaga).
Pomitota to wohuta. Ito ma hipotidiya. Popoli wawu ayuwa. Amiyatiya mongobuwa. Wolo hilawo hiliyatuwa. Toli'anga moponuwa. Bitu'o potongapo. Ayidelo mopatato (Memperkuat pinggang. Kita sedang menari. Dengan sikap dan pembawaan. Kami kaum perempuan. Dengan tekad yang satu. Kasih sayang dan saling cinta. Keris siap dan waspada. Pada persoalan yang jelas).
Baca juga: Mengenal Kawin Tangkap di Sumba, Bagaimana Seharusnya Tradisi Ini Dilakukan?
Ilalunga ilupiya. Ode taludu mota. Bitu'o lato pomitu'ale. Dila hama lo tu'alo (Disandang dan dilipat. Ke depan dengan siaga. Keris segera ditanamkan. Tapi jangan gegabah).
Tidi mayilopulito. Ma'apu dila odito. Woluwo dila sanangi. Ma'apu tango'a'ami (Tidi sudah selesai. Maafkan kalau tidak berkenan. Ada yang tidak disenangi. Maafkan kami semua).
Itulah syair lagu berbahasa Gorontalo yang dipadu dengan musik perkusi dan petik yang mengiringi langkah pasti para penari perempuan yang menyelipkan bituo (keris) dalam pinggang mereka. Syair dan suara musik ini mengiringi setiap gerakan, membingkai gerak dalam hentakan musik.
Tidi lo Bituo atau tari keris merupakan salah satu tarian tradisional Gorontalo yang telah dikenal sejak dulu. Tarian ini berpijak pada pola-pola tradisi Gorontalo.
Tidi ini merupakan tarian klasik Gorontalo yang berkembang pada abad ke-17 dan 18 di kalangan istana, yaitu raja-raja dan kaum bangsawan, yang memiliki kristalisasi artisik yang tinggi dan telah menempuh perjalanan sejarah yang panjang sehingga memiliki nilai tradisional.
“Tidi berarti tari, kata tidi menguatkan bahwa tarian ini merupakan jenis tarian klasik. Ditinjau dari busana, gerakan tari, properti tari semua bernilai moral,” kata Rusli Nusi, Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Gorontalo, Senin (11/9/2023).
Baca juga: Pecahkan Rekor Muri, 10.000 Pelajar Menari Montro, Tarian Endemik Bantul
Tidi lo Bituo merupakan salah satu dari 5 budaya dari Provinsi Gorontalo yang telah ditetapkan sebagai warisan budaya takbenda Indonesia oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan 2023 ini.
Rusli Nusi menjelaskan, tidi ini lahir sejak zaman pemerintahan Raja Eyato pada 1672. Seorang maestro seni dan budaya Gorontalo Farha Daulima mengemukakan, busana adat dan semua artibut melambangkan empat keterikatan, yaitu keterikatan dalam menjalankan syariat Islam, keterikatan sebagai ratu rumah tangga, keterikatan dalam menjalin kekerabatan antar-keluarga tetangga dan masyarakat, dan keterikatan (membatasi diri) dalam pergaulan sehari-hari.
Tidi lo Bituo merupakan salah satu jenis tari yang khusus dipentaskan di kalangan istana raja (Yiladia lo Olongia) pada zaman dahulu.
Jika tarian tersebut dilakukan di istana maka disebut tidi, tetapi kalau tarian di luar istana tidak dilekatkan kata tidi pada namanya. Seperti tarian Saronde tidak disebut tidi Saronde, momonto hutia tidak disebut sebagai tidi Momonto Hutia.
Perkataan tidi merupakan upaya istana pada zaman dulu untuk memberikan kekhususan, tarian yang dilekatkan kata tidi di depannya adalah tarian elite kaum istana atau bangsawan saja.
Tarian Tradisional Gorontalo senantiasa berpijak pada pola-pola tradisi Gorontalo. Tidi merupakan tarian klasik Gorontalo yang berkembang pada abad ke 17 dan 18 di kalangan istana.
Baca juga: Tujuan Tarian yang Berkembang pada Zaman Prasejarah