BANGKA, KOMPAS.com - Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) mengkhawatirkan aktivitas pertambangan laut yang kian masif akan semakin merusak dan mengubah garis pantai di Indonesia. Terlebih jika keran ekspor pasir laut dibuka.
Hal itu terjadi karena adanya degradasi lingkungan seperti abrasi pantai dan kerusakan ekosistem di wilayah pesisir.
Direktur Eksekutif Walhi Bangka Belitung Jessix Amundian mengatakan, kajian ilmiah menunjukkan adanya perubahan garis pantai di wilayah Bangka Belitung dalam kurun 2001 hingga 2020.
Baca juga: Ekspor Pasir Laut Diizinkan Setelah 20 Tahun, Walhi Babel: Beban Ekosistem akan Makin Kompleks
Hal itu tak bisa dilepaskan dari aktivitas penambangan laut yang terus berlangsung hingga saat ini.
Ditambah dengan adanya perizinan tambang sedimentasi pasir laut melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023, beban ekosistem wilayah pesisir dipastikan semakin kompleks.
"Hasil penelitian yang diterbitkan jurnal perikanan dan kelautan volume 11 nomor 2, Desember 2021, dari citra satelit selama 2001 sampai 2020 merekam adanya abrasi dan perubahan garis pantai yang signifikan," kata Jessix saat berbincang dengan Kompas.com, Rabu (31/5/2023).
Jessix menuturkan, penelitian tersebut mencakup sampel wilayah Bangka Belitung sebelah timur sepanjang 175,42 kilometer garis pantai.
"Dengan metode end point rate (EPR) tercatat 0,00 sampai 34,07 meter per tahun. Kemudian metode Net Shoreline Movement (NSM) berkisar antara 0,00 sampai -647,26 meter, artinya ada pergeseran dan yang hilang," ujar Jessix.
Walhi secara nasional, kata Jessix, tegas meminta pemerintah untuk mencabut PP 26 Tahun 2023 serta mendesak pemegang kekuasaan untuk memberlakukan larangan tambang pasir laut secara permanen.
Aturan tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang diundangkan pada 15 Mei 2023 ini memuat sejumlah kebijakan. Salah satunya adalah keran ekspor pasir laut yang kini dibuka kembali setelah dilarang selama 20 tahun.
"Tidak hanya menolak, tapi juga meminta PP dicabut," ujar Jessix di kantor Walhi.
Dalam catatan Walhi, penerbitan PP 26 tahun 2023 tersebut merupakan langkah mundur jauh ke belakang dalam konteks perlindungan dan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut Indonesia, termasuk perlindungan wilayah tangkap nelayan yang merupakan produsen pangan laut utama di Indonesia
Menurut Walhi, masyarakat pesisir di Indonesia sedang berhadapan dengan ancaman dampak buruk krisis iklim berupa tenggelamnya desa-desa pesisir, termasuk tenggelamnya pulau-pulau kecil di Indonesia akibat kenaikan air laut.
Untuk diketahui, tren global kenaikan air laut adalah 0,8 – 1 meter.
Dalam berbagai kesempatan, Walhi telah menyampaikan informasi kepada masyarakat luas bahwa pada masa yang akan datang, sebanyak 115 pulau kecil di perairan dalam Indonesia, dan 83 pulau kecil terluar (terdepan) akan tenggelam akibat kenaikan air laut.