BANGKA, KOMPAS.com - Perizinan tambang sedimentasi pasir laut yang dibuka negara melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 ditolak Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Bangka Belitung.
Aturan tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut yang diundangkan pada 15 Mei 2023 ini memuat sejumlah kebijakan. Salah satunya adalah keran ekspor pasir laut yang kini dibuka kembali setelah dilarang selama 20 tahun.
Walhi menilai, adanya aturan tersebut berpotensi memicu kerusakan lingkungan dan beban ekosistem dinilai akan semakin kompleks.
Dampak negatif tambang pasir laut diperkirakan bisa terjadi di seluruh wilayah Indonesia termasuk juga di Kepulauan Bangka Belitung.
Baca juga: Apa Itu Pasir Laut dan Dampaknya jika Dikeruk dan Diekspor?
"Kami secara nasional Walhi meminta agar PP 26 Tahun 2023 tentang perizinan tambang pasir laut dicabut," kata Direktur Eksekutif Walhi Bangka Belitung Jessix Amundian kepada Kompas.com, Rabu (31/5/2023).
Jessix mengungkapkan, di wilayah Bangka Belitung saja, lingkungan pesisir laut akibat penambangan timah belum pulih.
Selain itu, juga kerap terjadi konflik sosial dengan masyarakat di wilayah pertambangan. Seperti di Teluk Kelabat, Bangka antara nelayan dan penambang.
Kemudian baru-baru ini juga terjadi antara nelayan di Toboali, Bangka Selatan dan Beriga, Bangka Tengah.
"Sampai hari ini di Kepulauan Bangka Belitung penentuan tapal batas kawasan tangkap tradisional atau pun area yang dilindungi atau wilayah masyarakat adat perairan belum ada pengakuan," ujar Jessix di kantor Walhi.
Walhi juga mencatat pada 7 Mei 2023 di pantai Toboali, Bangka Selatan ditemukan seekor pesut mati terdampar penuh luka.
Hal itu diduga karena rusaknya habitat dan jalur migrasi satwa, imbas aktivitas tambang yang kian masif.
Terkait dampak perubahan wilayah, Walhi merujuk hasil penelitian yang diterbitkan jurnal perikanan dan kelautan volume 11 nomor 2, Desember 2021.
Citra satelit 2001 sampai 2020 merekam adanya abrasi dan perubahan garis pantai yang terjadi signifikan.
Sampel wilayah Bangka Belitung sebelah timur dengan metode EPR 0,00 sampai 34,07 meter per tahun. Kemudian metode NSM berkisar antara 0,00 sampai -647,26 meter sepanjang 175,42 kilometer garis pantai.
"Ditambah lagi dengan ancaman kerusakan terumbu karang, jadi semakin kompleks. Walhi tidak hanya menolak tapi juga meminta PP dicabut," ucap Jessix.
Baca juga: Menteri ESDM Sebut Pasir Laut yang Boleh Diekspor yaitu Hasil Sedimentasi
Dihubungi terpisah, Ketua Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia (HNSI) Bangka, Lukman, menilai tambang pasir laut akan mengganggu wilayah tangkap nelayan jika tidak diatur dengan tepat.
"Kalau dilakukan di laut jelas akan mengganggu ekosistem dan berdampak lingkungan. Tapi ada beberapa lokasi alur pelayaran yang memang harus dikeruk, seperti di Air Kantung, Sungailiat, perlu dikeruk karena pendangkalan," ujar Lukman.
Alur pelayaran, khususnya bagi kapal nelayan, kata Lukman memang harus dikeruk dan pasirnya bisa diambil.
"Lokasi yang bisa saling bermanfaat seperti di Air Kantung, alurnya sudah pendangkalan, banyak pasir di sana," pungkas Lukman.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.