JAMBI, KOMPAS.com - Ribuan angkutan batubara membanjiri jalanan sepanjang 200 kilometer dari Sarolangun ke Muarojambi setiap hari. Operasi angkutan batubara ini menyebabkan 176 kecelakaan hingga membuat 112 orang meninggal dunia.
"Kecelakaan terjadi lantaran jumlah kendaraan melebihi kapasitas ruas jalan. Kemudian adanya konvoi angkutan batubara dan kemacetan," kata Inisiator Aliansi Advokasi Tambang (Antam) Feri Irawan saat jumpa pers di Kenara caffe, Rabu (6/7/2022).
Feri menjelaskan, selama 10 tahun semenjak Perda Angkutan Batubara diterbitkan, pemerintah belum berhasil mendorong terwujudnya jalur khusus batubara.
"Korban jiwa meningkat, tapi kompensasi tidak memadai," tegas Feri.
Baca juga: Antisipasi Arus Mudik, Truk Angkut Sawit dan Batubara di Bengkulu Dilarang Melintasi Jembatan
Dalam evaluasi setahun, angka kematian akibat angkutan batubara meningkat 37 persen atau sekitar 44 orang periode Januari-Juli 2022.
Ini memperlihatkan belum ada keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat.
"Angkutan batubara menjadi penyebab kecelakaan hampir setiap hari. Bahkan sudah 112 orang meninggal, karena ditabrak truk batubara," kata Feri.
Untuk itu, pihaknya mendorong pemerintah menghentikan angkutan batubara di jalanan umum, agar tidak jatuh korban.
Selain menyebabkan kecelakaan, angkutan batubaru membuat jalanan macet setiap hari.
Solusi lain, pemerintah secepatnya mendorong perusahaan Izin Usaha Pertambangan (IUP) membangun jalan khusus batubara sesuai amanat Perda Nomor 13 Tahun 2012 terkait Angkutan Batubara.
Baca juga: Pabrik Semen SBI Manfaatkan Sampah Olahan sebagai Bahan Bakar Alternatif Pengganti Batu Bara
Antam yang terdiri dari gabungan lembaga lingkungan dan kepemudaan menilai, pemerintah maupun perusahaan belum hadir dalam kecelakaan akibat angkutan batubara.
"Yang bentrok di lapangan ya masyarakat dan sopir angkutan batubara. Dua-duanya jadi korban," tutur Feri.
Santunan tidak memadai
Tidak adanya kompensasi dari perusahaan dan pemerintah terhadap keluarga korban kecelakaan, berdampak pada santunan kepada keluarga korban tidak memadai.
"Kasus yang kami temukan, keluarga korban yang meninggal hanya diberi uang Rp 1,5 juta," kata Direktur Perkumpulan Hijau ini.
Dampak angkutan batubara juga memicu konflik sosial, masyarakat kerap berhadap-hadapan langsung dengan sopir batubara.
Contoh terbaru, kasus pengeroyokan terhadap seorang sopir truk batubara, yang berujung pada pembakaran truk batubara terjadi di kawasan Olak Kemang, Danau Teluk, Kota Jambi, Selasa (5/10/2021) pukul 01.00 WIB.
Baca juga: Kecelakaan Melibatkan Truk Batu Bara di Jambi Tewaskan Dua Pemotor dalam Semalam
Kemudian ribuan warga Kelurahan Sridadi, Kecamatan Muarabulian menggelar demo dengan memasang tenda di tengah jalan. Aksi mereka juga disertai pengusiran terhadap angkutan batubara.
Untuk menekan peningkatan korban angkutan batubara, pemerintah mengatur jam operasional angkutan batubara yakni masyarakat beraktivitas siang hari, sementara angkutan batubara malam hari.
Pembatasan aktivitas warga ini, dinilai Antam melanggar hak asasi. Karena adanya pembiaran terhadap korban-korban angkutan batubara oleh pemerintah, pihaknya akan melaporkan pemerintah ke Komnas HAM.