MOLIBAGU, KOMPAS.com – Burung maleo (Macrocephalon maleo) termasuk suku megapodiidae, yaitu suku burung yang memiliki kepala berukuran kecil, bulu berwarna hitam atau coklat, memiliki kaki besar dan kuat yang digunakan untuk menggali tanah dan menyingkirkan batuan saat bertelur.
Meskipun memiliki kaki besar dan kuat ternyata maleo tidak bisa bertelur di sembarang tempat.
Burung ini bergantung pada daerah yang terdapat panas bumi (geothermal) atau di pasir pantai yang hangat.
Mereka menggali tanah atau pasir pada kedalaman tertentu untuk meletakkan telurnya, yang kemudian ditimbun hingga permukaan tanah seperti sedia kala.
Baca juga: Peringati Hari Maleo Sedunia, 24.970 Anakan Dilepasliarkan
Untuk mengelabui predator pemangsa telur, maleo membuat tiruan timbunan telur.
Tidak hanya itu, anakan maleo sejak dalam cangkang telur ini harus mandiri.
Telur yang ukurannya enam sampai tujuh kali ukuran ayam kampung ini harus berjuang sendiri di dalam hangat tanah.
Saat menetas ia berjuang keluar dari cangkang telur menggunakan kaki-kakinya yang kuat, dibutuhkan waktu hingga 48 jam untuk keluar dari dalam tanah.
“Burung ini memiliki keistimewaan dibandingkan jenis burung lain, yaitu proporsi ukuran telurnya yang besar. Burung ini tidak pernah mengerami telurnya,” kata Hanom Bashari, staf Perkumpulan Biodiversitas Gorontalo (Biota), Minggu (21/11/2021).
Baca juga: Kisah Para Pelestari Maleo, Burung Endemik Sulawesi yang Terancam Punah
Burung maleo memiliki sebaran di Pulau Sulawesi dan Buton, di Provinsi Sulawesi Selatan diketahui ada di sekitar Danau Towuti.
Sebelumnya informasi keberadaan maleo di daerah ini minim informasi hingga dinyatatakan tidak ada.
Statusnya endangered (EN) karena perburuan dan habitat. Secara global diperkirakan berkisar 8.000 – 14.000 individu.