Salin Artikel

Mengenal Maleo, Burung Khas Sulawesi yang Populasinya Terancam

Meskipun memiliki kaki besar dan kuat ternyata maleo tidak bisa bertelur di sembarang tempat.

Burung ini bergantung pada daerah yang terdapat panas bumi (geothermal) atau di pasir pantai yang hangat.

Mereka menggali tanah atau pasir pada kedalaman tertentu untuk meletakkan telurnya, yang kemudian ditimbun hingga permukaan tanah seperti sedia kala.

Untuk mengelabui predator pemangsa telur, maleo membuat tiruan timbunan telur.

Tidak hanya itu, anakan maleo sejak dalam cangkang telur ini harus mandiri.

Saat menetas ia berjuang keluar dari cangkang telur menggunakan kaki-kakinya yang kuat, dibutuhkan waktu hingga 48 jam untuk keluar dari dalam tanah.

“Burung ini memiliki keistimewaan dibandingkan jenis burung lain, yaitu proporsi ukuran telurnya yang besar. Burung ini tidak pernah mengerami telurnya,” kata Hanom Bashari, staf Perkumpulan Biodiversitas Gorontalo (Biota), Minggu (21/11/2021).

Burung maleo memiliki sebaran di Pulau Sulawesi dan Buton, di Provinsi Sulawesi Selatan diketahui ada di sekitar Danau Towuti.

Sebelumnya informasi keberadaan maleo di daerah ini minim informasi hingga dinyatatakan tidak ada.

Statusnya endangered (EN) karena perburuan dan habitat. Secara global diperkirakan berkisar 8.000 – 14.000 individu.

“Habitat burung maleo adalah hutan primer dan sekunder, maleo dewasa secara berpasangan akan dating ke lokasi peneluran yang spesifik,” kata Kepala Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone Supriyanto.

Supriyanto menjelaskan lokasi peneluran atau nesting ground maleo berupa lokasi yang memiliki sumber panas bumi alami.

Panas bumi ini yang membantu proses inkubasi telur maleo.

“Burung maleo meletakkan telurnya di dalam tanah hangat yang dekat sumber air panas, atau di pasir pantai yang hangat oleh penyinaran matahari,” tutur Supriyanto.

Uniknya lagi, setelah bertelur sepasang maleo ini akan Kembali ke dalam hutan.

Dalam setahun burung ini dapat bertelur sebanyak delapan sampai 12 kali yang mereka lakukan dalam dua hingga tiga bulan.

Di hutan mereka sangat sensitive dan pemalu, sehingga banyak peneliti atau masyarakat yang kesulitan menjumpai secara langsung.

Sepasang maleo akan mengunjungi kawasan peneluran, keduanya bergantian menggali tanah atau pasir, sementara yang tidak bertugas menggali akan berjaga-jaga memantau sekitar.

Jika ada predator atau manusia yang datang, mereka langsung kabur bersamaan.

Setelah dirasakan cukup dalam menggali, maleo betina segera mengeleluarkan telurnya, memastikan letaknya yang pas dan segera menimbun kembali dengan tanah atau pasir.

Telur ini tidak pernah dikunjungi lagi, mereka sepenuhnya mengharapkan kemurahan alam untuk mengeraminya hingga menetas.

Kedalaman tanah untuk meletakkan telur tidak seragam, adakalanya hanya ditemukan pada kedalaman 20 sentimeter, bahkan ada yang 1 meter.

Maleo induk akan mendeteksi suhu panas bumi (diduga menggunakan tonjolan di kepalanya) sehingga mendapatkan suhu ideal untuk yang dibutuhakn untuk mengerami telurnya.

Dari hasil pengalaman staf lapangan Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dan Wildlife Conservation Society (WCS) proses bertelur burung ini membutuhkan waktu antara beberapa menit hingga lebih dari satu jam.

Anakan maleo yang berhasil menetas akan berusaha muncul ke permukaan tanah, perjuangan pergerakan muncul di permukaan tanah ini sekitar 1 sentimeter per jam, membutuhkan waktu hingga 2 hari untuk sampai ke permukaan.

Sesampai di atas, ia akan beristirahat sejenak untuk memulihkan tenaga.

Waktu istirahat ini adalah saat yang rentan bagi anak maleo, para predator yang sudah mengetahui lokasi peneluran acap menanti kemunculan mereka.

Biawak, elang, gagak atau lainnya sudah berjaga-jaga siap menerkam.

Usai beristirahat anak maleo bisa berjalan atau terbang menuju rimbunnya hutan.

Meski baru menetas anak maleo ternyata bisa langsung terbang, terutama jika menghadapi sesuatu yang berbahaya.

Anak maleo ini hidup tanpa bimbingan induknya, ini yang membedakan dengan jenis burung lainnya.

Setelah mencapai usia empat tahun, maleo akan mencari pasangannya.

Setelah menemukan pasangan, mereka akan menjalani sebagai burung dewasa, melakukan kawin yang kemudian bertelur di lokasi yang istimewa ini, memiliki panas bumi atau di pasir pantai yang hangat.

https://regional.kompas.com/read/2021/11/21/103450278/mengenal-maleo-burung-khas-sulawesi-yang-populasinya-terancam

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke