BANDUNG, KOMPAS.com - Kehangatan rumah tak lagi bisa dirasakan Yayah (46) setelah tiga bulan lalu dia diusir pemilik kontrakan. Mereka harus angkat kaki lantaran tak bisa membayar uang sewa selama berbulan-bulan.
Kini ibu lima anak itu terpaksa tinggal di sebuah pos keamanan berukuran 2,5x1 meter di Jalan Cipedes, Sukajadi, Kota Bandung. Ironisnya, posa satpam tempat tinggal Yayah hanya berjarak puluhan meter dari kantor Dinas Sosial Kota Bandung.
"Sejak diusir (pemilik kontrakan) kita bingung tinggal di mana. Saya minta izin sama Pak RT untuk tinggal di pos satpam ini," kata Yayah saat bercerita kepada Kompas.com, Kamis (2/2/2017) siang.
Yayah memiliki lima anak dari hasil pernikahannya dengan Didi Kardian (52), yakni Ade Yadi (28), Aldi (21), Diana (18), Sandi (17), dan Faisal (14).
Di tempat sempit itu, Yayah tinggal bersama dua orang anaknya Ade Yadi dan Sandi. Sementara itu, suami dan tiga anaknya yang lain tinggal menumpang di tempat berbeda-beda.
Yayah pun bercerita tentang awal kisah getirnya bermula. Petaka bagi keluarga Yayah datang pada awal tahun 2016.
Dokter memutuskan, Didi tak boleh bekerja terlalu berat. Beban biaya hidup otomatis berada di pundak Yayah yang sehari-hari mengais rupiah dari profesinya sebagai buruh cuci. Penghasilannya hanya Rp 900.000 per bulan.
Namun lagi-lagi, fisik Yayah ambruk lantaran didiagnosa mengalami penyakit stroke. Ade Yadi, anak pertama Yayah, yang diharapkan mampu menjadi tulang punggung keluarga tak bisa berbuat apa-apa. Insiden tabrakan motor pada 2014 lalu membuat kakinya patah. Bahkan, kini Ade mesti menggunakan tongkat untuk membantunya berjalan.
"Keluarga saya berantakan, sekolah anak saya pun berantakan. Sakit hati saya, sedih," tutur Yayah dengan mata berkaca-kaca.
Kondisi pos satpam tempat tinggal Yayah sangat memprihatinkan. Yayah, Ade dan Sandi tidur beralaskan kasur tipis.
Atapnya ditempeli kalender bekas. Barang mewah di tempat itu hanya sebuah penanak nasi berwarna putih. Dengan kondisi itu, keluarga Yayah sulit mandi dan mencuci.
"Saya sudah tidak mandi selama tiga minggu. Kalau mau buang air besar, disimpan di plastik nanti di buang ke parit yang jauh agar baunya tak tercium warga. Kalau tidur banyak binatang, digigit semut," tutur Ade.
Dengan kaki pincang, Ade memaksakan diri untuk membantu ibunya. Dia pun turun ke jalan menjadi juru parkir di sebuah minimarket. Penghasilannya, hanya Rp 20.000 per hari.
"Uangnya dipakai beli nasi Rp 6.000 buat bertiga, beli tumis Rp 3.000, sisanya buat bekal sekolah adik saya, Sandi, yang masih bertahan sekolahnya di SMA PGRI Bandung," ujar Ade.
Ade berharap, pemerintah bisa turun tangan meringankan beban keluarganya. Dia pun tak ingin diberikan bantuan secara cuma-cuma.
"Saya ingin bekerja yang sesuai dengan kondisi saya. Minimal ada bantuan modal agar bisa berjualan. Saya tidak ingin dibantu begitu saja, tapi ingin kerja, ingin mandiri punya penghasilan," tuturnya.
Keluarga Yayah tak banyak menggantung harapan. Dia hanya ingin keluarganya kembali berkumpul dalam satu atap, menikmati saat kebersamaan menjelang masa senjanya.
"Saya ingin keluarga bisa kumpul lagi. Saya khawatir melihat anak-anak saya yang tidak tahu kabarnya. Pergaulannya bagaimana, sebagai seorang ibu, saya sangat sedih," tutup Yayah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.