Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

TKI Membangun Kampung Halaman

Kompas.com - 23/08/2016, 18:44 WIB

KOMPAS.com - Duka tidak selalu mewarnai nasib tenaga kerja Indonesia asal Nusa Tenggara Timur. Sebagian di antara mereka berhasil kembali ke Tanah Air dengan membawa sukses. Mereka bahkan ikut membangun daerah kelahiran.

Martinus (37) memarkir mobil miliknya di depan rumah toko (ruko) di kawasan perbelanjaan Kota Kupang. Di dekat pintu keluar ruko itu, istrinya, Santi (32), tengah sibuk melayani transaksi pembayaran. Ia dibantu tujuh karyawan untuk melayani calon pembeli di toko swalayan milik mereka, Omart.

Omart adalah buah sukses perjuangan Martinus setelah enam tahun merantau sebagai TKI di Malaysia. Pria kelahiran Pulau Rote itu memulai petualangan bekerja di perkebunan sawit di Kalimantan Timur tahun 1999, tiga bulan setelah lulus sekolah menengah kejuruan.

Tak kerasan, dua tahun kemudian, Martinus pindah ke perbatasan Entikong. Ia berdagang pakaian bekas. Namun, lagi-lagi tak sukses. Ia pun pindah ke Lahad Datu di Sabah, Malaysia. Selama tiga tahun Martinus bekerja kembali sebagai buruh perkebunan sawit. Upah yang diperolehnya Rp 3,5 juta per bulan.

Tahun 2006, ia memutuskan pulang kembali ke Kupang. Dengan sebagian tabungan yang dimiliki, ia menyewa satu rumah kosong berukuran 6 meter x 8 meter di Kelurahan Kuanino, Kota Kupang, dengan harga Rp 10 juta. Sisanya, Rp 6 juta, digunakan untuk modal awal berjualan bahan makanan dan kelontong. Salah satu ruangan dalam tempat itu sekaligus dimanfaatkan sebagai rumah tinggal keluarganya. Satu kamar mandi pun dibangun sederhana di belakang rumah.

Ketika usaha dagangnya mulai sukses, Martinus pindah ke tempat yang lebih besar. Ia menyewa dua kios di Pasar Kuanino seharga Rp 30 juta per tahun, juga untuk berjualan. Kios lama pun tetap digunakan untuk berdagang.

Setelah 10 tahun berdagang, ia memiliki sendiri satu ruko berlantai tiga di pusat perdagangan Kelurahan Merdeka. Aset itu bernilai Rp 1,5 miliar. "Kota Kupang terus berkembang. Jika kita memiliki tempat usaha yang strategis akan cukup menguntungkan," katanya.

Kunci suksesnya adalah manajemen yang tertib dan disiplin. Transaksi usaha ditangani langsung istri. Usaha itu menawarkan barang dengan harga lebih murah dibandingkan toko lain. Itu sebabnya pembeli rela berjejalan melintasi lorong sempit dalam toko itu.

Ia meyakini, sukses seseorang bergantung pada diri orang itu. Jika ada kemauan, tekad baik, dan semangat kerja yang tinggi, setiap orang bisa sukses. Sebagai orang yang mencari modal usaha dengan menjadi TKI, Martinus sejak awal bertekad memanfaatkan upah yang didapat dengan sebaik-baiknya.

Namun, sebagian TKI kemudian memanfaatkan hasil jerih payah mereka untuk memenuhi urusan konsumtif semata. "Mereka cenderung tidak berpikir mengembangkan uang hasil jerih payah dari luar negeri untuk membangun usaha di tempat asal," kata Martinus.

Tak jauh dari kios Martinus, Susan Ndun (36) membangun usaha serupa. Dari hasil perantauannya di Malaysia, mantan TKI itu membeli satu kios berukuran 4 meter x 5 meter di pasar di Kelurahan Kuanino, Kota Kupang. Dari usahanya, Susan membiayai kuliah dua adiknya di kampus di Surabaya dan Denpasar. Salah satu di antaranya akan diwisuda pada September nanti.

Gadis Rote ini pertama kali menjadi pengurus rumah tangga di Kuala Lumpur tahun 2004. Dengan upah Rp 3 juta per bulan, Susan berhasil menabung Rp 25 juta dalam kurun 10 bulan. Uang itu langsung dikirimnya untuk membangun rumah orangtuanya di Pulau Rote.

"Tadinya atap rumah kami hanya dari daun lontar. Dinding pun dibangun dari pelepah lontar. Lantainya tanah. Rumah yang baru dibangun sekarang jauh lebih baik kondisinya," kata Susan.

Tidak semua

Cerita suram mengenai TKI asal NTT, menurut Susan, lebih bersifat kasuistik. Tidak semua TKI mendapatkan perlakuan buruk dari majikan. "Jika TKI terampil, majikan tidak akan banyak omong," katanya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com