Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mereka Terperangkap dalam Kemiskinan

Kompas.com - 01/09/2015, 19:02 WIB
KOMPAS - Masa depan petani karet kian dirundung ketidakpastian. Bahkan, mereka terperangkap dalam lingkaran kemiskinan karena karet adalah satu-satunya harapan. Kenyataan yang ditemui, nasib mereka semakin jauh dari harapan, terutama saat harga karet terpuruk, baik di pasar lokal maupun internasional.

Sudah lebih dari setahun kebun karet dengan luas sekitar 7 hektar milik Andrio Sibi (53), warga Kecamatan Kembayan, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, terbengkalai. Di sela-sela jejeran pohon karet miliknya tumbuh rerumputan tinggi dan semak belukar.

Harga karet di tingkat petani anjlok dari Rp 10.000 per kilogram pada 2014 menjadi Rp 5.000 per kilogram pada 2015.

”Dari karet, kami bisa hidup dan menyekolahkan anak. Namun, sejak harga karet anjlok, kami tidak semangat rasanya,” kata Andrio, pertengahan Agustus 2015.

Saat harga karet Rp 10.000 per kilogram, Andrio bisa mengantongi penghasilan Rp 2 juta-Rp 3 juta per bulan. Uang itu untuk menutup biaya hidup dan biaya indekos kedua anaknya, Yani (25) yang sedang kuliah di Kota Malang, Jawa Timur, dan Carlo (19) di Kota Pontianak.

”Saat harga karet tinggi saja, sebetulnya belum mencukupi kebutuhan hidup dan pendidikan anak-anak. Harus ditambah dengan pinjaman. Apalagi dalam kondisi sekarang, mencari Rp 1 juta saja sulit sehingga harus mencari tambahan penghasilan,” ujar Andrio.

Yani dan Carlo pun saat libur kuliah ikut membantu orangtua mereka mencari uang untuk membayar biaya kuliah dengan menyadap karet. Pada saat teman-teman mereka berlibur, Yani dan Carlo berjibaku mencari uang demi menyelesaikan pendidikan.

Kerja serabutan

Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya kuliah anak-anak, Andrio mencari pekerjaan serabutan sebagai buruh bangunan dan buruh harian di perkebunan sawit. Upah menjadi buruh di perkebunan sawit Rp 60.000 per hari, sedangkan upah dari buruh bangunan Rp 30.000 per hari. ”Upah itu pun tidak diperoleh setiap hari,” katanya.

Bahkan, saat ini Andrio terancam kehilangan kebun karetnya karena ada sekitar 2 hektar kebun karet miliknya masuk dalam hak guna usaha perusahaan sawit. Ia khawatir karena sewaktu-waktu perusahaan sawit bisa saja menebang kebun karetnya saat ingin berekspansi.

Sempat terpikir oleh Andrio untuk mengganti kebun karetnya menjadi kebun sawit karena begitu masifnya ekspansi sawit, dengan harapan bisa memperbaiki taraf hidup. Namun, harga sawit pun anjlok dari Rp 1.000 per kilogram tahun lalu menjadi Rp 500 per kilogram tahun ini.

Nasib yang sama dialami Ardian (30), petani karet di Kabupaten Kubu Raya, yang pergi ke Pontianak setelah hancurnya harga karet. Dampaknya tak hanya kebun karet yang terbengkalai, tetapi juga banyak petani karet yang melepas kebunnya kepada perusahaan sawit. Mereka tidak tahan lagi karena terdesak kebutuhan hidup.

Andrio dan Ardian hanyalah segelintir orang dari sekitar 300.000 orang di Kalbar yang menggantungkan hidup mereka pada sektor karet. Rata-rata kondisi ekonomi mereka sangat memprihatinkan meski harga karet masih bagus. Kondisi mereka kian tertekan setelah jatuhnya harga komoditas tersebut.

Menurut Jusdar Sutan, Ketua Gabungan Perusahaan Karet Indonesia (Gapkindo) Kalbar, sektor agroindustri karet nyaris tak pernah tersentuh kebijakan pemerintah dari hulu hingga hilir. Di sisi lain, karet petani sebagian besar tidak pernah diremajakan. Karena itu, produktivitas petani rendah.

Produktivitas petani karet rata-rata hanya 600 kilogram per hektar per tahun. Berbeda dengan Thailand yang mampu mencapai 1,8 ton per hektar per tahun. Padahal, sekitar 300.000 petani di Kalbar bergantung pada sektor karet. Luas perkebunan karet di Kalbar menurut data Badan Pusat Statistik berkurang dari 8.120 hektar pada 2008 menjadi 4.942 hektar pada 2011.

Kondisi bisnis yang terus memburuk ini mengakibatkan tiga dari 17 pabrik karet di Kalbar gulung tikar. Setidaknya 800 tenaga kerja kehilangan pekerjaan akibat penutupan pabrik tersebut. Sementara 14 pabrik yang tersisa juga tidak beroperasi maksimal.

Dampaknya, produksi karet merosot dari 500.000 ton per tahun menjadi 200.000 ton per tahun. Itu pun mendapatkan pasokan bahan baku dari Kalimantan Tengah dan Sumatera. Pabrik yang biasanya beroperasi 24 jam sekarang tinggal delapan jam.

Volume ekspor karet dari Kalbar juga merosot. Pada semester pertama 2014 mencapai 117.000 ton, turun menjadi 112.000 ton pada periode yang sama tahun 2015. Harga karet di pasar internasional juga anjlok dari 2,2 dollar AS pada 2014 menjadi 1,3 dollar AS pada 2015.

Menurut Dwi Suslamanto, Kepala Perwakilan Bank Indonesia Kalbar, struktur ekspor Kalbar masih didominasi sektor ekstraktif sumber daya alam, salah satunya karet. Bahkan, 90 persen produksi karet di Kalbar berorientasi ekspor. Sementara itu, lesunya sektor karet di Kalbar diperkirakan masih terjadi hingga tahun depan. (Emanuel Edi Saputra)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com