Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bikin SK yang Merugikan Negara, Gubernur Bengkulu Diperiksa Polisi

Kompas.com - 15/09/2014, 16:16 WIB
Kontributor Bengkulu, Firmansyah

Penulis

BENGKULU, KOMPAS.com - Gubernur Bengkulu, Junaidi Hamsyah dimintai keterangan oleh penyidik kepolisian daerah setempat terkait SK Gubernur Nomor Z. 17 XXXVIII Tahun 2011 tentang Tim Pembina Manajemen Rumah Sakit Umum Daerah dr M Yunus (RSMY), Senin (15/9/2014). Awalnya, pemeriksaan akan dilakukan di Mapolda Bengkulu, namun atas permintaan gubernur maka pemeriksaan digelar di gedung daerah (rumah dinas).

"Pemeriksaan dilakukan di gedung daerah atas permintaan beliau (gubernur)," kata Kapolda Bengkulu, Brigjen Pol Tatang Soemantri, Senin (15/9/2014).

Sementara itu berdasarkan pengamatan Kompas.com, pemeriksaan terhadap Junaidi dimulai pada pukul 09.30 WIB. Namun hingga pukul 13.20 WIB, pemeriksaan masih berlangsung. Belasan wartawan tampak masih menunggu di luar areal gedung daerah.

Pemeriksaan ini bermula dari kebijakan mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur Nomor Z. 17 XXXVIII Tahun 2011 tentang Tim Pembina Manajemen Rumah Sakit Umum Daerah dr M Yunus (RSMY). Akibat SK tersebut, negara diduga rugi sebesar Rp 5,4 miliar karena harus membayar honor bagi tim pembina tersebut.

Persoalan muncul saat SK itu bertentangan dengan Permendagri No 61 Tahun 2007 mengenai Dewan Pengawas. Berdasarkan Permendagri tersebut, Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) tidak mengenal tim pembina. Dalam kasus ini, Polda Bengkulu telah menetapkan beberapa pejabat, termasuk petinggi dan staf RSUD tersebut.

Tuai pro dan kontra

Sebelumnya, pada masa Gubernur Bengkulu masih dijabat Agusrin M. Najamudin dan belum keluarnya Permendagri No 61 Tahun 2007 mengenai Dewan Pengawas, SK serupa sudah sering dikeluarkan. Celakanya, saat kepemimpinan Junaidi Hamsyah atau setelah terbitnya Permendagri No 61 Tahun 2007 mengenai Dewan Pengawas, SK tersebut diterbitkan tanpa pengkajian lebih jauh oleh bagian hukum.

Masalah ini memunculkan pro dan kontra di tengah masyarakat Bengkulu. Ada yang menuntut agar gubernur ditetapkan sebagai tersangka karena sebagai pembuat SK itu. Namun ada pula kelompok lain yang menyatakan bahwa hal tersebut hanya pelanggaran administratif atau perdata tak dapat dibawa ke ranah pidana.

Anggota Komisi Yudisial (KY), Taufiqurrahman Syahuri, sempat menegaskan bahwa Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah tak dapat dipidanakan terkait diterbitkannya SK tersebut karena itu merupakan kesalahan administratif bukan pidana.

"Itu kesalahan administrasi yang telah melalui proses panjang setelah ditandatangani gubernur. Dengan demikian, desakan dari berbagai pihak agar gubernur selaku penandatangan SK dipidanakan, tidak mendasar," kata Taufiqurrahman Syahuri, Senin (2/12/2013).

Menurut dia, gugatan yang lebih tepat adalah SK tersebut dibawa ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk direvisi, bukan dibawa ke ranah pidana.

"Sangat jelas, jika SK Pergub yang salah, maka itu ranahnya PTUN. Jika UU, maka gugatannya ke Mahkamah Konstitusi (MK). Jika Perppu, maka gugatannya ke Mahkamah Agung (MA). Ini kan administrasi, jika terjadi kesalahan itu tidak bisa dipidanakan," tegasnya.

Jika SK itu dinyatakan salah oleh PTUN, maka penyelesaiannya cukup dengan mengembalikan kerugian negara yang ditimbulkan akibat SK. Ia juga memberikan contah kasus serupa, yakni ketika Presiden SBY mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 tahun 2006 tentang Pemberian Tunjangan Komunikasi bagi anggota DPR RI setelah digugat ke MA.

"PP dinyatakan bersalah, tapi presiden tidak dipidanakan. Itu aturan hukumnya. Saya pikir masyarakat harus paham persoalan ini sehingga tidak salah alamat dalam melakukan gugatan," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com