Selain Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta yang banyak membantu, LBH Ansor sebagai sayap organisasi NU juga turut mendampingi agar hak-hak warga dipenuhi secara baik oleh pemerintah. Apalagi, mayoritas warga Wadas adalah warga NU.
“Kami dulu juga menggaungkan fatwa NU soal putusan muktamar yang mengharamkan eksploitasi dan perusakan alam. Kami sempat sedikit punya harapan lah dengan dukungan lembaga sebesar NU,” kata Tabudin ketika dihubungi.
Namun ketika mendengar keputusan para petinggi NU untuk mengelola tambang batu bara, Tabudin mengaku “lebih dari kecewa”.
“Kalau ada bahasa lain yang lebih menggambarkan dari kecewa, itulah yang saya rasakan,” tutur Tabudin yang juga merupakan seorang Nahdliyin.
Meskipun warga Wadas tidak terdampak langsung oleh kebijakan baru yang menyasar area tambang batu bara ini, Tabudin mengatakan apa yang terjadi di Wadas telah membuat mereka merasakan pahitnya menjadi korban tambang.
Oleh sebab itu, dia berharap apa yang dialami warga NU di Wadas turut menjadi pertimbangan PBNU untuk tidak berkontribusi pada praktik buruk tambang di tempat lain.
Warga NU lainnya, Muhammad Hidayatullah mengatakan sikap NU tersebut telah menjadi perdebatan yang cukup intens di kalangan akar rumput.
Bagi pihak yang sepakat, narasi yang kerap muncul adalah keputusan ini dinilai lebih baik ketimbang pengelolaan sumber daya alam selalu jatuh ke tangan cukong.
Namun bagi yang tak sepakat seperti Hidayatullah, urgensi NU mengelola tambang batu bara masih menjadi pertanyaan besar.
Baca juga: Bukan Garap Tambang, Ormas Seharusnya Serukan Koreksi Ekonomi Ekstraktif
Sejauh ini, dia mengaku belum menerima penjelasan yang rasional perihal alasan NU perlu mengelola tambang, bagaimana skema pengelolaan yang diklaim akan “ramah lingkungan” oleh para petinggi NU itu, serta bagaimana merehabilitasi dampak-dampak kerusakan lingkungannya.
“NU punya beban moral besar ketika masuk ke wilayah yang destruktif ini. Menurut saya, keputusan ini perlu diukur lagi,” kata dia.
“Lalu yang dicari dengan mengelola tambang itu apa? Apakah untuk mencari sumber keuangan NU? Kalau seperti itu, warga NU sudah terbiasa swasembada, urunan. Itu sudah menjadi budaya di arus bawah,” ujarnya.
Hidayatullah juga mengaku tergelitik dengan fakta bahwa yang akan dikelola adalah tambang batu bara, yang bertentangan dengan semangat mendorong transformasi energi.
Alih-alih memberi manfaat, Hidayatullah justru menilai keputusan PBNU akan mempersulit posisi para kader yang memperjuangkan hak-hak warga korban tambang seperti di Wadas.
"Ini malah menjadikan posisi kader-kader NU di bawah yang selama ini membersamai masyarakat pada posisi sulit, bimbang," kata Hidayatullah.
Baca juga: Akademisi UGM: Sangat Tak Lazim Ormas Terima Konsesi Tambang
Itu karena napas perjuangan mereka akan selalu dikontraskan dengan kerusakan lingkungan yang dikhawatirkan terjadi di tambang yang dikelola NU.
Hal senada juga diutarakan oleh Nahdliyin korban tambang lainnya dari Desa Wadas, Fuad Rofiq. Alih-alih memandangnya sebagai “hadiah” dari pemerintah, Fuad menilai kebijakan ini sebagai “jebakan” bagi NU.
“Ini terlalu berisiko ketika NU yang fokus perjuangannya untuk umat malah berpindah menjadi seperti korporasi, mengelola tambang. Saya khawatir terjadi seperti yang dijelaskan di hadist nabi, ketika urusan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka yang timbul adalah kehancuran,” tutur Fuad.
“Jangan sampai pemberian seperti itu justru akan menyandera NU. Bukannya untuk kemaslahatan umat, malah ada hal lain yang terganggu, misalnya peran kontrol terhadap [kebijakan] pemerintah,” kata dia.
Fuad berharap keresahan dari arus bawah yang mengemuka ini menjadi pertimbangan bagi PBNU.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sejauh ini telah menyediakan enam lahan eks tambang yang hak kelolanya akan diberikan kepada ormas keagamaan.
Keenamnya terdiri dari lahan bekas tambang PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Arutmin Indonesia, PT Kendilo Coal Indonesia, PT Adaro Energy Tbk, PT Multi Harapan Utama (MAU), dan PT Kideco Jaya Agung.
Untuk PBNU, pemerintah memberi lahan bekas salah satu anak usaha grup milik pengusaha Aburizal Bakrie, PT Kaltim Prima Coal. Bahlil belum mengungkap berada besar cadangan yang ada di lahan tambang untuk PBNU tersebut.
“Berapa cadangannya nanti begitu kita kasih, tanya mereka,” kata Bahlil.
Baca juga: Ormas Keagamaan Dapat Izin Kelola Tambang, Ini Kata Kadin
PT KPC sendiri telah tercatat mengalami penciutan wilayah tambang sekitar 23.000 hektare menurut data Minerba One Data Indonesia (MODI).
Mareta Sari dari Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kaltim memperkirakan lahan yang dimaksud adalah bekas lahan tambang PT KPC di wilayah Rantau Pulung dan Sangatta, Kutai Timur.