KOMPAS.com – Yolivia Endeng (15) dan Jerianus Mugar (8), kakak adik asal Kampung Randang, Desa Mokel, Kecamatan Kota Komba Utara, Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), hidup sebatang kara.
Keduanya telantar setelah ayah mereka meninggal dunia pada 2016 dan sang ibu memiliki pasangan hidup baru lalu merantau ke luar Manggarai Timur.
Kisah kakak adik ini sungguh menyayat hati. Mereka berjuang siang-malam tanpa perhatian dan kasih sayang orangtua.
Baca juga: Kisah Kakak Adik di Pelosok Manggarai Timur NTT, Hidup Telantar Ditinggalkan Orangtua
Bangun pagi, mereka harus masak dan menyiapkan diri ke sekolah lalu berangkat jalan kaki menimba ilmu.
Yolivia dan Jerianus pun harus melewatkan masa kanak-kanak. Sejatinya, anak-anak seusia mereka bisa bermain ketika pulang sekolah.
Nyatanya, kakak adik ini justru bergelut dengan kegiatan orang dewasa. Keduanya harus bekerja demi membeli sandal, sepatu, dan pakaian.
Bahkan, Yolivia sebagai anak sulung harus memberikan rasa kasih sayang kepada adiknya yang ditinggal ibu saat usianya masih belia.
Kompas.com bekerja sama dengan Kitabisa.com meggalang dana untuk kisah ini. Pembaca bisa memberikan bantuan dengan cara klik di sini.
Saat ini Yolivia duduk di kelas III sekolah menengah pertama di Kecamatan Kota Komba Utara dan Yerianus Mugar kelas II sekolah dasar di Desa Mokel, Kecamatan Kota Komba.
Keduanya harus tetap tegar demi mengejar cita-cita. Sang kakak ingin menjadi guru.
Jein, sapaan Yolivia Endeng, mengisahkan, ibu mereka merantau ke Kalimantan saat Joi (sapaan Yerianus Mugar) masih berusia 2 tahun.
Baca juga: Mama Maria Evin Terima Donasi Pembaca Kompas.com
"Betapa menderita hidup kami saat ibu memilih untuk hidup berkeluarga lagi dengan pasangannya.," ujar Jein.
Awalnya, jelas Jein, sang ayah meninggal dunia. Kemudian, mereka tinggal bersama ibu di rumah peninggalan ayah.
Seiring waktu berjalan, kira-kira Joi baru berusia dua tahun, sang ibu menikah lagi dan berangkat ke Kalimantan bersama pasangan hidupnya.
“Setelah itu, kami tinggal bersama kakak kandung dari ayah bernama Yohanes Nugat di Kampung Randang hingga saat ini."
"Kami berangkat ke sekolah dengan berjalan kaki dari rumah Bapak Yohanes Nugat. Saat ini Bapak Yohanes yang menghidupkan kami berdua di tengah keterbatasan ekonomi keluarga,” jelasnya.
Jein mengakui selalu membayangkan wajah sang ayah yang begitu sayang kepada mereka. Ini membuat Jein selalu menangis tetapi berusaha agar tidak dilihat Joi.
Baca juga: Mama Maria Mamu Teteskan Air Mata dan Ucapkan Terima Kasih Saat Terima Donasi Pembaca Kompas.com
Ketika sang ayah masih hidup mereka biasanya sering makan bersama. Kini hanya tinggal kenangan dan keduanya harus menerima kenyataan nan getir.
Kompas.com bekerja sama dengan Kitabisa.com meggalang dana untuk kisah ini. Pembaca bisa memberikan bantuan dengan cara klik di sini.
“Saya bercita-cita menjadi guru. Sementara adik saya belum tahu cita-citanya,” ujar Jein yang harus bekerja untuk mencari uang.
Maklum, keadaan ekonomi Yohanes Nugat pun cukup memprihatinkan. Kakak kandung ayah mereka ini memiliki empat anak.
"Jadi kami tinggal 8 orang di rumah dengan kondisi ekonomi sangat terbatas, apalagi harga beras saat imi hampir Rp 800.000 untuk berat 50 kilogram." ungkap Jein.
Jein berharap ada belas kasihan dan kepedulian pemerintah untuk membantu biaya hidup dan uang sekolah mereka sehingga tak putus sekolah.
“Saya selalu berdoa melalui perantaraan ayah yang sudah meninggal dunia agar mengutus orang baik membiayai hidup dan uang sekolah."
"Semoga ada orang-orang baik yang peduli membantu kami berdua supaya sekolah kami tidak putus di tengah jalan akibat mahalnya biaya pendidikan,” ujarnya.
Kompas.com bekerja sama dengan Kitabisa.com meggalang dana untuk kisah ini. Pembaca bisa memberikan bantuan dengan cara klik di sini.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.