Penduduk Madura pertama kali tiba di Kalimantan Tengah pada tahun 1930, di bawah program transmigrasi yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda.
Sampai tahun 2000, transmigran yang berasal dari Madura tersebut telah membentuk 21 persen populasi di Kalimantan Tengah.
Suku Dayak mulai merasa tidak puas dengan adanya persaingan yang terus datang dari Madura.
Terlebih hukum baru juga telah memungkinkan masyarakat Madura mendapatkan kontrol terhadap industri komersial di provinsi tersebut, seperti penambangan, perkebunan, dan perkayuan.
Baca juga: Tragedi Sampit: Konflik Berdarah antara Suku Dayak dan Madura
Kondisi tersebut memicu permasalahan ekonomi hingga menjalar terjadinya kerusuhan antara keduanya.
Insiden kerusuhan terjadi pada tahun 2001.
Kericuhan berawal saat terjadi serangan pembakaran di sebuah rumah Dayak.
Berdasarkan rumor, masyarakat Madura yang menjadi pelaku pembakaran rumah Dayak itu.
Tak berapa lama, masyarakat Dayak mulai membalas dengan membakar rumah-rumah orang Madura.
Dilansir dari Kompas.com (30/7/2021), Professor Uskop dari Asosiasi Masyarakat Dayak mengklaim bahwa pembantaian oleh suku Dayak dilakukan untuk mempertahankan diri setelah beberapa warga Dayak diserang.
Kondisi kericuhan antara suku Dayak dengan Madura makin diperparah dengan kebiasaan dan nilai-nilai berbeda yang dimiliki keduanya.
Seperti adat orang Madura yang membawa parang atau celurit ke mana pun, hal tersebut membuat orang Dayak berpikir bahwa tamunya ini siap untuk berkelahi.
Pada tanggal 18 Februari 2001 suku Dayak berhasil menguasai Sampit.
Dalam konflik tersebut sedikitnya 100 masyarakat Madura dipenggal kepalanya oleh suku Dayak.
Konflik Sampit mulai mereda setelah pemerintah meningkatkan keamanan,mengevakuasi masyarakat, dan menangkap provokator.