MALUKU TENGAH, KOMPAS.com - Masjid Wapauwe di Kabupaten Maluku Tengah merupakan masjid tertua di Provinsi Maluku yang memiliki jejak gaib lengkap dengan keunikannya.
Masjid Wapauwe terletak di Negeri Kaitetu, Kecamatan Leihitu, Kabupaten Malteng, Pulau Ambon. Atau berjarak 29,7 kilometer dari pusat kota.
Masjid tua yang masih berdiri kokoh ini memiliki arsitektur unik, yakni dibangun tanpa pasak dan dipercaya pernah berpindah tempat secara gaib.
Masjid ini dibangun pada tahun 1414 oleh seorang pendakwah asal Maluku Utara, Perdana Jamilu. Masyarakat setempat menyebut Negeri Kaitetu pada masa itu bernama Kerajaan Tanah Hitu.
Baca juga: Sejarah Masjid Wapauwe, Masjid Tertua di Maluku serta Arsitektur dari Kayu
Masyarakat yang mendiami pesisir Pulau Ambon itu telah memeluk agama Islam. Namun belum ada satupun bangunan masjid di daerah itu.
“Waktu itu kami sudah beragama Islam, beliau datang untuk dakwah dan lihat belum ada masjid. Jadi bersama masyarakat dibangun masjid,” ucap Yus Iha, keturunan keempat penjaga masjid kepada Kompas.com, Kamis (14/3/2024) lalu.
Lokasi masjid dulunya berada di pegunungan Wawane, tepatnya belakang negeri. Namun kedatangan Belanda pada 1614 memaksa masyarakat turun gunung atau berpindah ke lokasi yang mudah dijangkau.
Masyarakat membongkar satu persatu tulangan masjid, lalu bergotong-royong memikulnya ke lokasi baru.
Mereka menempuh perjalanan dari Pegunungan Wawane menuju bukit Tehala berjarak 6 kilometer.
Lokasi kedua itu dekat dengan pesisir, sehingga memudahkan tentara Belanda memantau pergerakan masyarakat desa.
Pada perpindahan kedua dipandu oleh Ima Rijali yang diketahui sebagai anak Perdana Jamilu.
Namun pada suatu pagi, ada kejadian tak terduga. Masyarakat kampung dibuat geger. Masjid yang mereka pindahkan dan jadi tempat sembayang itu sudah tak ada lagi. Masjid itu telah berpindah ke tengah kampung dekat pesisir.
“Pas pagi itu masyarakat bangun pagi, sudah tidak ada. Dia perpindah secara gaib ke kampung sini (baca: Kaitetu),” terang bapak tiga anak itu.
Perpindahan itu terjadi dalam semalam bak cerita Candi Prambanan. Tak ada yang tahu penyebab perpindahan gaib itu. Namun setidaknya kekuatan magis itu makin mengukuhkan keimanan masyarakat Negeri Tanah Hitu pada masa itu.
Jejak perpindahan gaib pun bisa terlihat oleh pengunjung dan wisatawan. Yus menerangkan jika dilihat dari luar, posisi bangunan agak menyerong.
Pada denah masjid yang dipajang di sudut pameran masjid juga tergambar jelas posisi masjid yang miring.
“Karena dia berpindah gaib, makanya dia miring. Yaitu, tidak sempurna, miring. Seperti ada di areal pameran,” sambil menunjuk deretan poster informasi yang dibuat oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Maluku.
Dari tutur masyarakat secara turun-temurun, perpindahan masjid di dekat pesisir terjadi sebanyak tiga kali. Yakni di pingir pantai, tepi Sungai Wailoi dan ketiga di lokasinya saat ini, di Lorong Samaiha.
Uniknya, tidak ada satupun bangunan masjid yang rusak atau goyang akibat perpindahan tersebut.
Hal inilah yang makin memperkuat keyakinan dan kepercayaan masyarakat akan kekuatan Sang Pencipta. Pertumbuhan agama Islam di jazirah Leihitu pun berkembang pesat.
Selain jejak perpindahan gaib, ada sejumlah peninggalan lain yang masih dijaga lestari.
Yus bersama imam masjid dan juga marbot merawat semua peninggalan itu. Seperti lampu gantung rantai peninggalan zaman portugis. Lampu itu menggunakan sistem hidrolik. Ia harus ditarik ke bawah untuk dinyalakan.
Ada pula lampu kuningan yang menggunakan bahan bakar minyak kelapa. Kedua lampu ini sudah tidak lagi digunakan dan hanya dipajang.
Tak kalah unik dari masjid tua adalah teknik mengikat serta konstruksi bangunan. Menurut ahli pertukangan perkakas Jepang dan Indonesia, Marcelo Nishiyama dan Eko Prawoto, hal itu menjadi petunjuk kekunoan pembangunan masjid.
Empat buah tiang kayu asli atau Saka Guru masjid, menggunakan jenis kayu Nani. Sebagian masih awet, lainnya dijadikan pajangan bagi wisatawan yang datang. Ia dipajang bersamaan dengan kubah asli masjid yang ditutup gemutu.
Ikatan pada tiap sambungan tiang kayu menggunakan tali gemutu atau ijuk pohon enau.
Baca juga: Melihat Masjid Tiban di Magelang, Konon Muncul dalam Semalam
Saat ini masjid tua masih tetap digunakan untuk beribadah meski daya tampungnya hanya sekitar 60 orang.
Di halaman masjid terdapat sumur tua. Oleh warga dipakai sebagai sumber air minum untuk kebutuhan rumah tangga.
Selama bulan Ramadhan, banyak pengunjung yang datang. Ada yang sekadar berfoto atau berziarah. Jejak Islam dan cerita-cerita unik di balik itu kian mengokohkan keyakinan akan kebesaran Yang Maha Esa.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.