KOMPAS.com - Konflik antara manusia dan gajah yang berujung perusakan fasilitas Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Jambi, pada awal pekan lalu disebut sebagai imbas dari berubahnya fungsi hutan produksi – yang merupakan daerah jelajah gajah sumatra - menjadi kebun sawit.
Masyarakat dari tiga desa di Tanjung Jabung Barat mengaku “kesabaran mereka sudah habis” setelah kebun-kebun sawit mereka “dirusak” oleh gajah sumatera.
Mereka menggelar aksi protes untuk mendesak agar BKSDA dan mitranya, Frankfurt Zoolocigal Society (FZS), memindahkan gajah-gajah tersebut dari wilayah desa mereka. Akan tetapi, aksi itu berujung pada perusakan kendaraan operasional BKSDA dan mes milik FZS.
Baca juga: Gajah Mati di Sekitar Sungai, Pemkab Nagan Raya Kerahkan Tim ke Lokasi
Humas BKSDA Jambi, Zuhra, mengatakan konflik marak terjadi di wilayah yang bersinggungan dengan habitat gajah sumatera.
Pada 2023, BKSDA menerima setidaknya 20 laporan konflik antara manusia dan gajah di Jambi. Kenyataan di lapangan bahkan mungkin lebih dari itu. Namun seingat Zuhra, baru kali ini yang berujung sampai perusakan.
Dalam wawancara dengan BBC News Indonesia, salah satu warga di Desa Muara Danau bernama M Syukur, mengatakan bahwa konflik dengan gajah membuat mereka harus merogoh modal berkali-kali lipat lantaran tanaman sawit mereka berulang kali dirusak oleh gajah.
“Jadi tanaman masyarakat itu habis,” kata Syukur kepada wartawan Suwandi yang melaporkan untuk BBC News Indonesia dari Jambi.
Persoalannya, menurut BKSDA, kebun-kebun sawit masyarakat itu terletak di Hutan Produksi Terbatas (HPT) penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh.
Baca juga: Polisi Selidiki Pemburu Liar yang Jerat Kaki Anak Gajah di Way Kambas
Kawasan penyangga di TN Bukit Tigapuluh merupakan habitat daerah jelajah bagi lebih dari 100 gajah sumatera. Sebagian kecil populasi berada di Kabupaten Tanjung Jabung Barat –tempat konflik kali ini terjadi—dan mayoritas lainnya berada di Kabupaten Tebo.
“Di Tanjung Jabung Barat ini sejak lama sudah ada lintasan gajah, meski individunya sebenarnya memang tidak banyak karena [gajah] yang di sana itu cenderung kelompok kecil yang memisahkan dari kelompok utamanya. Yang di Tanjung Jabung Barat itu adalah gajah-gajah muda jantan yang sedang mencari kelompok lain,” jelas Zuhra.
Menurutnya, “belum ada opsi untuk memindahkan gajah” seperti yang diminta masyarakat sampai saat ini.
“Permasalahannya mau dipindahkan ke mana?” kata Zuhra. Dia juga menyebut bahwa daerah jelajah gajah di Jambi diperkirakan telah berkurang lebih dari 1.000 hektare karena ekspansi kebun sawit.
Baca juga: Mengungkap Fakta Konflik Gajah dan Manusia di Jambi Berujung Amuk Massa
Zuhra mengatakan idealnya masyarakat dan gajah semestinya dapat hidup berdampingan. Namun sepanjang monokultur sawit masih menjadi pilihan utama masyarakat sekitar karena lebih “menggiurkan” secara ekonomi, akan sulit untuk mewujudkan hal itu.
Kondisi ini membuat gajah sumatera, yang masuk dalam daftar spesies terancam kritis menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN), menjadi terjepit.
Berdasarkan laporan tersebut, BKSDA Jambi kemudian menugaskan tim untuk memantau dan menggiring tiga ekor gajah tersebut.
Menurut Kepala BKSDA Jambi, Donal Hutasoit, kebun-kebun sawit masyarakat itu berada di kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh, yang merupakan habitat daerah jelajah gajah sumatera.
Dalam pertemuan antara masyarakat dengan BKSDA dan FZS pada 21 Februari, masyarakat meminta agar gajah-gajah itu tidak hanya digiring, namun dipindahkan dari wilayah Desa Muara Danau.
Baca juga: 15 Rumah di Jambi Longsor, Sejumlah Warga Mengungsi
BKSDA dan FZS kemudian menggiring tiga ekor gajah ke arah utara Desa Muara Danau sampai mereka berada di kawasan yang masih berhutan, melewati area hutan yang telah ditanami sawit oleh masyarakat.
Namun pada 23 Februari, beredar isu bahwa terdapat 40 gajah yang bergerak dari Desa Lubuk Mandarsah, Kabupaten Tebo, menuju ke Desa Muara Danau yang berlokasi di Kabupaten Tanjung Jabung Barat.
Berdasarkan hasil verifikasi tim BKSDA dan FZS pada 24 Februari, terdapat pergerakan 15 ekor gajah di Desa Lubuk Mandarsah. Namun, gajah-gajah tersebut bukan bergerak menuju Desa Muara Danau, melainkan menuju Dusun Brandan.
Pada Minggu (25/02) malam, sekitar 50-100 orang berdatangan ke mess milik FSZ di Simpang Burut untuk menuntut jaminan dari BKSDA agar memindahkan gajah-gajah di Desa Muara Danau, Kelurahan Lubuk Kambing dan sekitarnya.
Baca juga: Sempat Lumpuh Total karena Banjir, Kini Jalan Lintas Sumatera di Jambi Bisa Dilalui
Dalam aksi itu, mereka merusak satu unit mobil lapangan dan dua unit sepeda motor milik BKSDA, lalu merusak dan melempari mess FZS, serta mengancam tim yang ada di sana.
Tim dari FZS kemudian dievakuasi pada Senin (26/02) dini hari oleh polisi.