“Sehingga dengan itu semua kami meyakini bahwa barang yang dijual ke kami itu sudah legal,” katanya.
Samsul mengatakan perusahaan sudah berkali-kali membeli bahan baku dari PT TBK dan tidak ada masalah.
Lebih lanjut dia mengeklaim bahwa hampir semua perusahaan farmasi di Indonesia tidak ada yang secara spesifik menguji kandungan EG dan DEG.
“Karena kemarin pada saat di persidangan pun disampaikan oleh pihak Bareskrim metodenya [untuk menguji EG dan DEG] baru diperoleh ketika perkara ini muncul,” ujarnya.
Baca juga: Polemik Santunan Korban Gagal Ginjal Akut: Dijanjikan Muhadjir, Dibantah Risma
Menurut Samsul, “sangat disayangkan” BPOM tidak melakukan pengawasan secara ketat terhadap bahan baku obat. Dia mempertanyakan mengapa perusahaan berstatus pedagang besar farmasi (PBF) seperti PT TBK bisa membeli bahan baku kepada CV Samudera Chemical yang non-PBF.
“Andaikata BPOM bisa mengawasi itu dari masuknya bahan baku obat saya rasa ini nggak mungkin terjadi,” ungkapnya.
BPOM menolak menjawab permintaan tanggapan yang diajukan oleh BBC News Indonesia.
Seorang staf Humas BPOM meminta BBC News Indonesia mengoordinasikan perkara ini ke Bareskrim Polri.
Sejak kasus ini mengemuka, banyak yang menyoroti pertanggungjawaban BPOM sebagai regulator sekaligus pengawas.
Namun hingga saat ini belum ada tindakan hukum terhadap BPOM.
Ahli farmasi dari Universitas Gadjah Mada, Profesor Doktor Marchaban, pernah mengatakan kepada BBC bahwa kasus ini membuktikan belum efektifnya pengawasan BPOM setelah obat beredar di masyarakat (post-market).
BPOM, kata dia, tidak pernah melakukan surveilans secara spesifik terhadap cemaran EG dan DEG dalam obat yang beredar sampai kasus ini terjadi.
Di sisi lain, industri farmasi dia duga juga tidak disiplin mengontrol cemaran dalam bahan baku, terutama ketika mengganti penyuplai bahan baku yang semestinya mereka laporkan kepada BPOM.
Baca juga: Soal Bantuan untuk Korban Gagal Ginjal Akut, Mensos Risma: Duit dari Mana? Berat Biayanya
Itu menunjukkan bahwa standar yang tercantum dalam cara pembuatan obat yang baik (CPOB) tidak diterapkan dengan baik, kata Marchaban.
“Oke kalau seandainya betul kesalahan terletak di industri farmasi. Tapi kemudian siapa sih yang mengawasinya? Pengawasnya kan Badan POM. Mengapa memberikan izin edar kalau sesuatu yang dilakukan industri farmasi belum lengkap? Saya kira BPOM harus bertanggung jawab,” tutur Marchaban.
November lalu, BPOM mengeluarkan aturan yang mengakomodasi impor propilena glikol, polietilena glikol (PEG), serta bahan lain dengan pembatasan kadar EG dan DEG untuk kepentingan industri farmasi.
Aturan itu adalah Peraturan BPOM Nomor 26 Tahun 2022 tentang Pengawasan Pemasukan Bahan Obat dan Makanan ke Dalam Wilayah Indonesia serta Peraturan BPOM Nomor 27 Tahun 2022 tentang Pengawasan Pemasukan Obat dan Makanan ke Dalam Wilayah Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.