“Jadi upload sebentar, semuanya selesai balik lagi ke rumah. Karena di kampungku itu belum ada tiang pemancar sinyal sama sekali. Tak ada satupun,” kata Lika.
Meski begitu, ia rela berusaha lebih untuk tetap mempertahankan hobinya yang telah berubah menjadi sumber pendapatan. Setiap video yang ia bagikan di media sosial merupakan hasil editan, rekaman dan unggahan sendiri.
”Aku kadang sambil bantu-bantu, sambil merekam. Karena ini aktivitas orang lain, kadang aktivitas orang tua atau orang-orang di kebun, kita enggak bisa, 'eh nanti-nanti' jadi tantangannya di situ, harus serba cepat,” ujarnya.
Baca juga: Buat Konten Video di Rel Kereta Api, Remaja di Indramayu Tewas Tertabrak KA Barang
Nia juga merasakan hal yang sama. Ia merekam semua aktivitasnya di sawah atau di sekitar rumahnya menggunakan iPhone 11 miliknya. Sesampai di rumah ia mengedit semua video sendiri dan mengunggahnya saat jaringan seluler sedang bagus.
”Karena kita pakai alatnya seadanya, enggak seperti orang yang lengkap semuanya. Jadi kadang-kadang kalau bikin content ke lahan atau sawah yang seharian, tiba-tiba kita mau ambil video lagi pas pulang, handphone udah lowbat,” kata Nia.
Nia mengatakan menjadi konten kreator telah mengubah hidupnya. Ia bisa mendapatkan pendapatan tambahan untuk membantu menyekolahkan adik-adiknya, memenuhi kebutuhan anaknya sekaligus meneruskan pekerjaannya di sawah.
Namun, ia juga beberapa kali menerima komentar negatif dari warganet yang menganggap kontennya ‘kampungan‘ atau bahwa dirinya ‘minta dikasihani‘.
Padahal, kata Nia, ia tidak memiliki niat itu sama sekali, melainkan ia lebih bahagia saat hidup di kampung bersama keluarganya.
“Saya mau menunjukkan kehidupan sederhana juga enggak banyak beban dan kita juga bisa bahagia walaupun kehidupan kita sederhana,“ tuturnya.
Baca juga: Perjalanan Kasus Lina Mukherjee, Buat Konten Makan Babi hingga Divonis 2 Tahun Penjara
Pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, mengatakan di era media sosial, manusia mengonsumsi sekian banyak informasi dalam hitungan detik. Sehingga, mendapatkan perhatian warganet menjadi semakin langka dan sulit dilakukan.
“Untuk mendapatkan perhatian, kata kuncinya adalah authenticity atau originalitas. Karena ketika original berarti sesuatu yang berbeda. Ketika itu berbeda, maka orang akan menoleh,” kata Devie kepada BBC News Indonesia.
Indonesia, sambungnya, merupakan negara yang memiliki beragam budaya dan keanekaragaman gaya hidup. Dengan munculnya para pembuat konten dari daerah, berarti mereka mulai menyadari keunggulan budaya yang mereka miliki.
“Mengingat budaya kita ini luar biasa, banyaknya permata budaya tadi. Inilah yang kemudian sekarang mulai disasar oleh banyak orang,” ujarnya.
Baca juga: Video Pria Dewasa Menangis Kehilangan Ayam di Kantor Polisi Viral, Kapolres: Cuma Konten
Namun, Devie mengatakan negara perlu memfasilitasi para pembuat konten di daerah karena mereka tidak memiliki akses ke sarana dan prasarana yang dimiliki pembuat konten di kota-kota besar. Khususnya koneksi internet yang lancar.
Sebab, keberadaan media sosial dapat menjadi kesempatan bagi orang-orang yang tinggal di daerah untuk mempromosikan pengalaman unik mereka dan budaya lokal yang kaya.