Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Ini Tanah Nenek Moyang Kami, Bukan Tanah TNI AU"

Kompas.com - 09/09/2023, 08:22 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Sejumlah pria tampak menggotong tujuh replika rumah panggung dari bambu yang dihiasi aneka hasil bumi. Bersama dengan warga lain, mereka berjalan menyusuri jalanan sepanjang kurang lebih dua kilometer dalam apa yang disebut sebagai ”perlawanan kultural” atas konflik agraria yang mendera selama puluhan tahun.

Sebagian besar pria mengenakan pangsi—pakaian tradisional Sunda, sementara para perempuan mengenakan kebaya. Sambil berjalan, mereka mengalunkan lagu berjudul Wakare yang juga terdengar dari pelantang suara di sebuah mobil bak terbuka.

Lagu itu dinyanyikan salah seorang warga Wates untuk menyemangati ratusan warga yang melakukan kirab dalam rangka Hari Gotong Rumah 2023 di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, Senin (14/8/2023).

Hari Gotong Rumah digelar setiap tahun untuk merekonstruksi peristiwa saat masyarakat adat di Desa Wates mengungsi pada masa penjajahan Jepang pada 1942. Kirab warga menggotong rumah sebagai pengingat bahwa warga telah kembali ke tanah adatnya.

Baca juga: Bulog Akan Salurkan Bantuan 18.000 Ton Beras ke Cirebon, Majalengka, dan Kuningan

Bagi Ulpah Azhar, generasi muda Dusun Wates, Hari Gotong Rumah adalah pengingat atas hilangnya hak atas tanah leluhurnya.

"Wujud mengingatkan kepada generasi muda, khususnya saya, kaum milenial, bahwa dulu para orang tua berjuang pindah ke sana. Kemudian balik lagi ke sini, tapi tanah ini sudah diklaim sama AURI," tutur Ulpah ketika ditemui Yuli Saputra, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Di balik festival budaya tahunan, Hari Gotong Rumah menjadi simbol perlawanan warga Wates terhadap klaim sepihak TNI Angkatan Udara (AU) atas tanah mereka selama lebih dari 70 tahun.

“Sebenarnya ini tanah nenek moyang kami, bukan tanah AURI,” tutur Agus Rudianto, kepala desa Jatisura.

Selama puluhan tahun, warga memperjuangkan tanah adat mereka, baik melalui rangkaian unjuk rasa, audiensi dengan pihak berwenang, namun hasilnya nihil.

Baca juga: 73 Persen Kecamatan di Majalengka Rawan Kekeringan, Berikut Daftarnya

Akhirnya, pada 2017 silam, warga mengubah strategi perlawanan, menurut Ismal Muntaha, Pendiri Badan Kajian Pertanahan (BKP)—lembaga swadaya masyarakat yang dibentuk untuk menguatkan hak kepemilikan atas tanah warga Wates melalui upaya kultural.

“Kami coba melihat lagi satu sudut pandang bagaimana melihat tanah itu bukan persoalan administratif saja, tapi sejauh mana warga menghidupi dan memartabatkan tanah tersebut. Makanya kemudian, cara-cara kultural seperti inilah yang terus kami tempuh,” ujar Ismal.

Warga kemudian membuat rangkaian perhelatan budaya seperti festival Hari Gotong Royong dan gelaran ritual lainnya, juga membangun Museum Wakare.

“Itu menjadi salah satu tindakan konkret kami bahwa kami adalah yang merawat tanah ini,” tutur Ismal.

Upaya itu membuahkan hasil, setidaknya untuk memperkuat posisi tawar warga Wates. Beberapa waktu lalu, Museum Tarrawara di Victoria, Australia – sebagai bentuk solidaritas – memberikan pengakuan bahwa warga Wates adalah pemilik sah kebudayaan tanah.

Baca juga: Curug Tonjong di Majalengka: Daya Tarik, Harga Tiket, dan Jam Buka

Namun, mereka masih harus menempuh jalan terjal dan panjang untuk memperjuangkan kampung mereka sebagai kampung adat yang diharapkan semakin mengukuhkan mereka sebagai pemilik kebudayaan dan sejarah tanah Wates.

Konflik agraria dengan TNI Angkatan Udara (AU) menghalangi warga mengecap kemerdekaan secara utuh. Pasalnya, konflik yang bermula puluhan tahun lalu itu—bahkan sebelum Indonesia merdeka—membuat warga Wates merasa masih “dijajah”.

Konflik bermula sejak 1942

Konflik agraria yang bermula puluhan tahun lalu itu?bahkan sebelum Indonesia merdeka?membuat warga Wates merasa masih ?dijajah?.YULI SAPUTRA Via BBC Indonesia Konflik agraria yang bermula puluhan tahun lalu itu?bahkan sebelum Indonesia merdeka?membuat warga Wates merasa masih ?dijajah?.
Konflik agraria yang dialami warga Wates terjadi sejak 1942, ketika tentara Jepang yang kala itu menjajah Indonesia membangun landasan udara dan pangkalan militer di Desa Beber, Majalengka.

Warga Wates yang tinggal di sekitar landasan udara merasa keselamatan dan keamanan mereka terancam lantaran berada dekat dengan zona perang. Mereka kemudian mengungsi ke lokasi yang lebih aman.

Mereka mengungsi ke Dukuh Peusing, masih di Desa Jatisura yang jaraknya sekitar 1,5 km dari Dusun Wates.

Oleh mereka, peristiwa mengungsi itu dikenal dengan sebutan “wakare”, yang berarti 'selamat tinggal' dalam Bahasa Jepang.

Ketika mengungsi, warga membawa serta harta benda, termasuk rumah tinggal mereka. Mereka pergi berduyun-duyun sambil menggotong rumah, yang dulu berupa rumah panggung.

Baca juga: Goa Jepang Majalengka Jadi Sasaran Vandalisme, Pegiat Sejarah: Padahal di Sebelah Kodim

Kelak, peristiwa itu direka ulang setiap tahunnya dalam acara yang dinamai Hari Gotong Rumah, yang oleh sebagian orang disebut sebagai Festival Wakare.

Ketika Jepang kalah perang pada 1945 dan meninggalkan Indonesia, warga Wates kembali ke kampung halamannya. Akan tetapi, mereka dikejutkan dengan klaim sepihak TNI AU – yang pada saat itu bernama AURI (Angkatan Udara Republik Indonesia) – atas tanah mereka pada 1950.

Kawasan yang diklaim militer mencakup sembilan desa, yaitu Desa Buntu, Beber, Beusi, Cibogor, Kertasari, dan Wanasalam di Kecamatan Ligung, Desa Salawana dan Kampek di Kecamatan Dawuan, serta Desa Jatisura di Kecamatan Jatiwangi – termasuk Dusun Wates.

Klaim sepihak itu membuat warga kesulitan melegalkan tanah miliknya hingga kini.

Sayangnya, warga tidak memiliki bukti sah atas kepemilikan tanah mereka. Namun, demikian halnya TNI AU. Kedua belah pihak sama-sama tidak memiliki legalitas kepemilikan lahan. Sementara, status lahan Dusun Wates saat ini adalah tanah masyarakat adat.

Baca juga: 2 Kelas SMPN 1 Jatitujuh Majalengka Terbakar, KBM Masih Berjalan

Dokumen pembayaran pajak di masa penjajahan Belanda, sempat dimiliki warga, tapi raib dibawa seorang kuwu—kepala desa dalam bahasa setempat—yang memerintah saat itu.

“Tadinya kan punya masing-masing, cuma sama kuwu dikumpulin. Nggak tahu dibawa ke mana. Rakyat juga sekarang lagi mengusut di mana surat tanah ini,” ungkap Diah Mardiah, warga Dusun Wates.

Dijelaskan oleh Diah, leluhurnya telah menempati kawasan itu selama puluhan tahun. Demikian warga Wates yang lain, yang telah menempati desa tersebut secara turun temurun hingga lima generasi.

Di desa itu terdapat makam dengan angka tahun 1926 tertulis di nisannya.

Konon, itu adalah makam keturunan Buyut Ripuh—leluhur warga Wates—yang meninggal pada 1880.

Jejak sejarah itu menjadi pembenaran warga untuk memperjuangkan hak mereka atas tanah adat itu, namun hal itu tak menyurutkan klaim TNI AU.

Baca juga: Kisah Emak-emak Majalengka Buat Grup Musik Mother Bank, Berawal dari Jeratan Bank Emok

Festival Gotong Rumah menjadi simbol perlawanan warga Wates terhadap klaim sepihak TNI Angkatan Udara (AU) atas tanah mereka selama lebih dari 70 tahunYULI SAPUTRA Via BBC Indonesia Festival Gotong Rumah menjadi simbol perlawanan warga Wates terhadap klaim sepihak TNI Angkatan Udara (AU) atas tanah mereka selama lebih dari 70 tahun
Seolah mendukung klaim tersebut, Pemerintah Daerah Kabupaten Majalengka menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 11 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah tahun 2011-2031 yang menetapkan kawasan di sekitar Pangkalan Udara Sugiri Sukani sebagai kawasan peruntukkan pertahanan dan keamanan.

Adapun, dalam rencana pola ruang kawasan budi daya yang dirilis Dinas Pekerjaan Umum dan Tata Ruang (PUTR) Majalengka, kawasan pertahanan dan keamanan meliputi lima kecamatan, termasuk di dalamnya Kecamatan Jatiwangi yang kini menjadi sengketa antara warga dan TNI AU.

Sebanyak 3.886 kepala keluarga mendiami lahan seluas 92,79 di empat wilayah, yakni Desa Cibogor, Salawana, Kertasari, dan Dusun Wates. Lahan pemukiman itulah yang dituntut hak kepemilikan atas tanah oleh warga, namun tuntutan itu belum dipenuhi hingga kini.

Sejak 1950, saat TNI AU mulai mendaku wilayah mereka di kawasan itu, sejumlah warga melakukan aksi unjuk rasa ke Kementerian Dalam Negeri. Sejak itulah perjuangan mereka terus bergulir.

Baca juga: Suharja, Jemaah Haji Asal Majalengka, Hilang 12 Hari di Arab Saudi

Ketakutan bakal terusir dari tanah yang menghidupinya menjadi alasan kuat di balik keteguhan warga menuntut hak atas kepemilikan tanah selama puluhan tahun.

Diah menyebutkan, posisi warga lemah sebab lahan yang mereka tempati, hanya berstatus hak guna pakai.

“Merasa nggak nyaman karena masih diaku saja sama AU. Katanya tanah ini bukan hak rakyat, jadi cuma hak guna pakai saja. Kata AU, kalau ada kepentingan (militer), tanahnya bisa (dipakai). Ya nggak bisalah, soalnya ini kan tanah nenek moyang kita,” ungkap Diah dengan nada kesal.

Kekhawatiran yang sama diungkapkan Kepala Desa Jatisura, Agus Rudianto, yang “takut diusir kalau sewaktu-waktu tanah tersebut digunakan untuk pembangunan”, baik oleh pemerintah daerah, maupun TNI AU.

Kekhawatiran warga Wates tersebut beralasan, sebab dalam Peraturan Bupati Majalengka Nomor 6 Tahun 2023 tentang Rencana Pembangunan Daerah Kabupaten Majalengka Tahun 2024 – 2026, tiga kecamatan yang berkonflik dengan TNI AU akan dikembangkan sesuai fungsinya.

Baca juga: Detik-detik Kesurupan Massal di Majalengka, Ratusan Pegawai Pabrik Berteriak Histeris

Kecamatan Ligung sebagai kawasan pertahanan keamanan, pengembangan industri dan pelayanan sosial, pertanian dan perikanan. Kecamatan Dawuan sebagai simpul transportasi regional, pusat komersial, pusat pelayanan sosial, dan pendukung kegiatan industri.

Sementara itu, Kecamatan Jatiwangi sebagai kawasan pengembangan industri, kawasan komersial, pelayanan sosial termasuk pengembangan perumahan, dan pertanian.

Saat warga Wates didera kekhawatiran dan kesulitan melegalkan kepemilikan tanahnya, di sisi lain, Lanud Sugiri Sukani menerima sembilan sertifikat tanah dari Badan Pertanahan Nasional Kabupaten Majalengka.

Dikutip dari situs TNI Angkatan Udara, sembilan sertifikat tanah itu diterima langsung oleh Komandan Lanud Sugiri Sukani, Letkol Pnb Supardo Butarbutar di kantor BPN Kabupaten Majalengka, Oktober 2022.

Salah satu sertifikat tanah itu adalah lahan persawahan di Desa Salawana yang menjadi sengketa.

BBC News Indonesia telah menghubungi Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara dan pejabat Lapangan Udara Sugiri Sukani, tapi hingga berita ini diturunkan, mereka tidak memberikan tanggapan.

Baca juga: Ratusan Karyawan Pabrik di Majalengka Diduga Kesurupan, Saksi: Suasananya Mencekam

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Wilayah Terdampak Longsor dan Banjir Luwu Terisolasi, Pemprov Sumsel Salurkan Bantuan dengan Helikopter

Wilayah Terdampak Longsor dan Banjir Luwu Terisolasi, Pemprov Sumsel Salurkan Bantuan dengan Helikopter

Regional
Calon Independen di Pilkada Nagekeo Wajib Kantongi 11.973 Dukungan

Calon Independen di Pilkada Nagekeo Wajib Kantongi 11.973 Dukungan

Regional
Mahasiswa Unlam Hilang Saat Reboisasi di Hutan Kapuas Kalteng

Mahasiswa Unlam Hilang Saat Reboisasi di Hutan Kapuas Kalteng

Regional
Curug Putri Carita di Pandeglang: Daya Tarik, Harga Tiket, dan Rute

Curug Putri Carita di Pandeglang: Daya Tarik, Harga Tiket, dan Rute

Regional
ART di Sukabumi Tewas Diduga Dibunuh di Rumah Majikan, Pelaku Ditangkap Dalam Bus

ART di Sukabumi Tewas Diduga Dibunuh di Rumah Majikan, Pelaku Ditangkap Dalam Bus

Regional
115 Rumah Terdampak Banjir di Dua Nagari di Kabupaten Sijunjung

115 Rumah Terdampak Banjir di Dua Nagari di Kabupaten Sijunjung

Regional
Serang Polsek di Kalteng, 4 Pemuda Mabuk Ditangkap

Serang Polsek di Kalteng, 4 Pemuda Mabuk Ditangkap

Regional
Geng Motor Tawuran Dalam Permukiman di Bandar Lampung, Warga Sebut 1 Orang Tewas

Geng Motor Tawuran Dalam Permukiman di Bandar Lampung, Warga Sebut 1 Orang Tewas

Regional
Harga Anjlok dan Cold Storage Tak Memadai, Nelayan di Aceh Terpaksa Buang 3 Ton Ikan

Harga Anjlok dan Cold Storage Tak Memadai, Nelayan di Aceh Terpaksa Buang 3 Ton Ikan

Regional
Pilkada Banten 2024, Gerindra-Demokrat Ingin Lanjutkan KIM di Banten

Pilkada Banten 2024, Gerindra-Demokrat Ingin Lanjutkan KIM di Banten

Regional
Pengusaha Kerajinan Tembaga Boyolali Ditemukan Tewas di Rumahnya, Diduga Dibunuh

Pengusaha Kerajinan Tembaga Boyolali Ditemukan Tewas di Rumahnya, Diduga Dibunuh

Regional
Puncak Gunung Lewotobi NTT Hujan Deras, Warga Diimbau Waspadai Banjir Lahar

Puncak Gunung Lewotobi NTT Hujan Deras, Warga Diimbau Waspadai Banjir Lahar

Regional
Pagi Berdarah, Suami di Ciamis Bunuh dan Mutilasi Istri di Jalan Desa

Pagi Berdarah, Suami di Ciamis Bunuh dan Mutilasi Istri di Jalan Desa

Regional
Kapal Logistik dari Malaysia Karam di Perairan Kepulauan Meranti

Kapal Logistik dari Malaysia Karam di Perairan Kepulauan Meranti

Regional
SDN 52 Buton Terendam Banjir, Pagar Sekolah Terpaksa Dijebol

SDN 52 Buton Terendam Banjir, Pagar Sekolah Terpaksa Dijebol

Regional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com