BANJARNEGARA, KOMPAS.com - Di balik keindahan alam dataran tinggi Dieng, menyimpan persoalan yang bisa menjadi bom waktu.
Selama puluhan tahun kawasan itu tidak memiliki sistem pengelolaan sampah. Berton-ton sampah dari masyarakat dan wisatawan hanya dibuang begitu saja di sebuah lahan milik Perhutani.
Lama kelamaan lokasi itu berubah menjadi "gunung sampah". Keberadaan gunungan sampah itu pun mengganggu wisatawan yang berkunjung ke Kawah Sikidang karena menimbulkan bau menyengat.
Baca juga: Gunung Sampah di TPA Sukawinatan Palembang Terbakar
Komentar miring pun sering terdengar dari para wisatawan. Bahkan, dua orang menteri era Jokowi sempat menyebut kawasan Dieng kumuh.
Berangkat dari keprihatinan itu, masyarakat setempat mulai berbenah. Beberapa bulan lalu telah didirikan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) di Desa Dieng Kulon, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah.
Sampah dari masyarakat dan wisatawan dipilah dan diolah agar memiliki nilai tambah.
"Permasalahan sampah di sini luar biasa, mungkin Dieng menjadi desa terbanyak penghasil sampah, apalagi kalau ada event," kata Kepala Desa Dieng Kulon, Slamet Budiono saat ditemui, Selasa (5/9/2023).
Slamet mengatakan, persoalan sampah perlahan mulai terurai sejak didirikan hanggar pengolah sampah beberapa bulan lalu.
"Banyak wisatawan yang komplain. Sebelumnya kalau ke obyek wisata Kawah Sikidang itu tidak cuma aroma belerang, tapi aroma sampah juga dari sini," ujar Slamet.
Baca juga: Asalkan Kuat Tahan Bau, Jual Gorengan di Gunung Sampah Bantargebang Bisa Raup Jutaan Rupiah
Ketua TPST Dewanata Kabul Suwito mengatakan, setiap hari mengangkut sekitar 5 ton sampah, baik dari permukiman warga maupun obyek wisata.
"Sampah masuk ke mesin pemilah. Kemudian untuk sampah organik diolah menjadi pupuk," kata Kabul.
Kabul melanjutkan, saat ini sedang melakukan uji coba pupuk organik itu di lahan pertanian milik warga. Namun masih menemui kendala karena pupuk tercampur dengan partikel plastik.
"Untuk pupuk sedang kami uji coba untuk tanaman kentang milik warga, hasilnya cukup bagus. Nantinya kami akan memproduksi pupuk cair dan padat," kata Kabul.
Kabul mengatakan, saat ini ada 10 warga yang bekerja di TPST. Untuk mendukung operasional TPST, setiap warga atau pengelola tempat usaha dipungut biaya bervariasi.
"Warga biasa Rp 10.000 per bulan, homestay atau tempat usaha Rp 25.000 per bulan. Anggotanya sekarang 1.000 kepala keluarga, 50 persennya merupakan pelaku usaha," ujar Kabul.
Baca juga: Kisah Pedagang di Gunung Sampah Bantargebang Mengais Rezeki Ditemani Ribuan Lalat