Kondisi yang unik di Perairan Masalembo pernah dijelaskan dalam penelitian LIPI berjudul Menguak Mitos Segitiga Masalembo dalam Perspektif Oseanografi (2016) yang ditulis Adi Purwandana S.Si. M.Si.
Dalam penelitian tersebut dijelaskan adanya fenomena turbulensi di udara yang mengancam keselamatan penerbanga, serta pusaran yang mengancam keselamatan pelayaran.
Hal ini berawal dari perbedaan kondisi Laut Jawa yang merupakan merupakan perairan dangkal di sebelah barat kepulauan Masalembo, dengan Laut Flores yang merupakan perairan laut dalam di sebelah timur.
Fenomena turbulensi di Perairan Masalembo disebabkan oleh perairan Laut Jawa yang lebih cepat hangat dengan menghangatnya lapisan atmosfer di atasnya dibandingkan Laut Flores.
Hal Ini menyebabkan perbedaan tekanan udara karena tutupan awan sebagai dampak dari penguapan
Perbedaan tekanan udara yang secara tiba-tiba inilah yang menghasilkan fenomena turbulensi yang dapat mengancam keselamatan ketika pesawat udara melintasinya.
Selanjutnya, fenomena pusaran air di Perairan Masalembo disebabkan oleh adanya Arus lintas Indonesia (Arlindo) yang mengalirkan massa air dari Samudera Pasifik menuju Samudera Hindia.
Selain mengalir melalui Selat Makassar, Arlindo juga mengalir melalui perairan laut dangkal yaitu Laut Jawa, yang dibawa dari Laut China Selatan.
Kedua arus ini selanjutnya bertemu di wilayah segitiga Masalembo, sehingga menimbulkan pengacakan arus dan turbulensi yang disinyalir tidak hanya menghasilkan pusaran/eddy secara horizontal namun juga secara vertikal.
Fenomena pusaran inilah yang dapat mengancam keselamatan moda transportasi laut, terutama untuk kapal-kapal bertonase kecil ketika melintasinya.
Dari banyaknya kecelakaan yang terjadi di Perairan Masalembo, berikut adalah dua kecelakaan yang paling membekas dalam sejarah.
Tenggelamnya Kapal Tampomas II di perairan Masalembo, Laut Jawa pada Selasa, 27 Januari 1981.
Kapal Tampomas II berlayar dari Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta menuju Teluk Bayur, Ujung Pandang, pada Sabtu, 24 Januari 1981 sekitar pukul 19.00 WIB.
Tenggelamnya kapal yang dinahkodai oleh Abdul Rivai (44) ini menelan ribuan korban. Beberapa di antaranya berhasil selamat, sisanya meninggal dunia dan ratusan penumpang belum diketahui nasibnya.
Dilansir dari Kompas.com (2022), Sekditjen Perhubungan Laut saat itu, Fanny Habibie, dalam keadaan cuaca yang jelek itu penumpang mengalami kepanikan sehingga beberapa orang terjun ke laut.