KENDARI, KOMPAS.com - Usai melakukan pengeledahan tiga kantor perusahaan tambang di Kota Kendari, Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulawesi Tenggara (Sultra) langsung menetapkan tersangka kasus dugaan korupsi penjualan ore nikel pada konsesi lahan PT Antam Tbk di blok Mandiodo, Kecamatan Molawe, Kabupaten Konawe Utara.
Dalam kasus dugaan korupsi tersebut Kejati Sultra menetapkan tiga orang sebagai tersangka.
Kepala kejaksaan tinggi (Kajati) Sultra, Patris Yusrian Jaya mengatakan, ketiga tersangka itu yaitu manajer PT Antam Mandiodo berinisial HA, pelaksana lapangan PT Lawu Agung Mining berinisial GI dan Direktur PT KKP berinisial AA.
"Hari ini tim penyidik Kejaksaan Tinggi Sultra telah menetapkan tiga orang tersangka. Dan selanjutnya akan dilakukan pemanggilan pemanggilan kepada pihak lain. Dengan penetapan tersangka ini, tim penyidik juga akan melakukan upaya paksa lain dalam rangka pemberkasan," ujarnya.
Baca juga: Kejati Sultra Geledah 3 Kantor Perusahaan Tambang, Salah Satunya PT Antam
Ia menjelaskan penetapan tersangka kepada tiga pejabat perusahaan tambang itu, terkait Kerja Sama Operasi (KSO) antara PT Antam dengan PT Lawu Agung Mining dan Perumda Sultra. Keduanya melakukan kerja sama penambangan di areal seluas 22 hektar di wilayah IUP PT Antam blok Mandiodo.
“Selain 22 hektar tadi pada kenyataannya hasil penambangan tersebut, hanya sebagian kecil yang diserahkan ke PT Antam. Sisanya dijual kepada smelter lain dengan mengunakan dokumen palsu atau dokumen terbang dari perusahaan PT KKP dan beberapa perusahaan tambang lainnya,” kata mantan Wakajati DKI Jakarta .
Ketiga tersangka dikenakan Pasal 2, 3 dan 8 Undang-Undang (UU) No. 20 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Soal total kerugian, Patris mengatakan saat ini dilakukan penghitungan oleh pihak yang berwewenang.
Ketiga tersangka diduga terlibat korupsi penjualan ore nikel dengan menggunakan "dokumen terbang" dari lahan konsesi PT Antam Tbk di Blok Mandiodo, Konawe Utara. Padahal seharusnya ore nikel dari lahan konsesi itu dijual lagi ke PT Antam.
"Dokumen terbang itu artinya barangnya dari (lahan konsensi) PT Antam tapi dijual seolah-olah pakai dokumen PT lainnya, itu ya KKP. Dalam kaitannya itu baru KKP ya," kata Asisten Intelejen Kejati Sultra, Ade Hermawan.
Ia mengungkapkan kasus ini berawal saat PT Antam dan Perumda Sultra menyetujui adanya KSO. Kemudian Perumda menunjuk dua KSO. Lalu KSO itu menunjuk sebelas perusahaan.
"Saat penjualan ore nikel, pihak penambang tidak menjualnya ke PT Antam. Malah dijual ke smelter lain dengan menggunakan dokumen terbang milik PT KKP dan PT Lawu," lanjutnya.
Padahal jika ore nikel itu dijual ke PT Antam, maka hasil penjualannya masuk sebagai pendapatan BUMN itu. Akibatnya negara mengalami kerugian.
"Seperti kata Pak Kajati tadi, sebagian kecil uang dari penjualan ke PT Antam dan sebagian besar masuk ke pihak lain," kata Ade.
Ia menambahkan, dalam kasus ini penyidik Kejati Sultra telah memeriksa 30 orang saksi. Jumlah saksi bisa bertambah tergantung kepentingan penyidik.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.