Polisi mengatakan MEL membunuh korban A pada Juni 2019.
Baca juga: Sosok Mayat Dalam Koper di Bogor Terungkap, Pelaku Mutilasi Berhasil Ditangkap
Satu bulan kemudian, pelaku lalu membeli gergaji listrik memutilasi jasad A menjadi tujuh bagian yang dimasukan ke dalam dua kontainer dan satu kantong plastik hitam.
Polisi menyebut kejahatan yang dilakukan MEL bertujuan untuk menguasai harta korban sebesar Rp1,1 miliar, dari apartemen hingga isi tabungan. Selain itu, motif pembunuhan juga disebut karena pelaku menolak ajakan korban untuk menikah.
Selain kasus di atas, rentetan kasus pembunuhan yang disertai mutilasi juga terjadi, seperti pembunuhan di Apartemen Kalibata City tahun 2020, lalu pembunuhan seorang PNS di Bandung tahun 2019, dan peristiwa lainnya.
Kriminolog dari Universitas Indonesia, Yoyo Tri Hendiarto menjelaskan, kasus pembunuhan disertai mutilasi tidak dapat dihentikan dan akan mungkin terus terjadi.
“Satu kasus mutilasi akan berbeda dengan kasus lain. Mungkin beberapa bulan akan ada lagi dengan kekhasan masing-masing. Jadi tidak dapat dihentikan dan tidak pernah hilang karena bagian dari perjalanan kehidupan manusia,” kata Yogo.
Yogo menjelaskan pembunuhan yang diikuti mutilasi umumnya bukan suatu proses yang bersifat spontan, melainkan didahului oleh proses interaksi antara kedua pihak, baik terkait hubungan asmara, finansial, sakit hati dan beragam faktor lainnya.
“Siapapun, dari status ekonomi apapun, dari kelas bawah hingga atas bisa melakukan kejahatan ini. Berdasarkan riset, pembunuhan terjadi umumnya karena dipicu kekerasan secara verbal yang merendahkan dan melukai harga diri orang lain. Jadi hati-hati dengan mulut.”
“Sehingga membuat pelaku mengambil respon cepat di luar bawah sadar, melakukan tindakan di luar akal logika seperti membunuh korban,” kata Yogo.
Baca juga: Kaki Kanan Ditemukan Dimakan Biawak di Tangerang, Diduga Bagian Tubuh Korban Mutilasi Dalam Koper
Ketika pembunuhan telah terjadi, kata Yogo, tindakan selanjutnya yang dilakukan pelaku adalah menghilangkan barang bukti dengan cara yang beragam, mulai dari mengubur korban, hingga melakukan mutilasi.
“Jadi alasan utama dari mutilasi adalah untuk menghilangkan jejak. Tubuh dipotong sehingga mudah dibawa, mudah dipindahkan, dan sulit diidentifikasi. Agar tidak ditangkap polisi, salah satu pilihan rasional para pelaku adalah dengan melakukan mutilasi,” kata Yogo.
“Kalau normal, tidak stres, tidak akan berani. Potong kambing saja ngeri, apalagi manusia. Tapi mengapa pelaku bisa sesadis itu? Ini karena tekanan psikologis yang mengutamakan egonya, yaitu tidak tertangkap,” kata Yogo.
Senada, kriminolog dari Universitas Indonesia, Josias Simon mengatakan, praktik mutilasi saat ini tidak terbatas pada faktor kelainan kejiwaan yang dimiliki pelaku.
“Dulu, orang melakukan mutilasi karena ada hal-hal terkait dengan kelainan kejiwaan, tapi situasi saat ini terjadi perubahan," kata Josias.