“Bahkan orang-orang normal melakukan hal itu dalam situasi yang sangat situasional, seperti emosional, gelap mata, putus asa, bahkan dilakukan oleh orang normal yang tidak ada cap apapun terkait kejiawaan dan masalah fisik lain. Jadi ada situasi tertentu membuat orang melakukan hal itu,” tambahnya.
Baca juga: Potongan Tubuh Korban Mutilasi Koper Merah Ditemukan, Polisi: Ditemukan Satu
Josias menambahkan, maraknya praktik mutilasi tidak lepas dari perkembangan dunia digital saat ini yang memberikan banyak informasi tentang model-model kejahatan.
“Model-model ini kemudian di-copying atau dijadikan contoh oleh beberapa orang untuk menyelesaikan suatu masalah,” ujarnya.
Lebih lanjut Josias menjelaskan, mutilasi dilakukan secara sadar oleh pelaku setelah memperhitungkan kondisi yang terjadi, seperti menyiapkan alat dan transportasi untuk menghilangkan barang bukti.
“Umumnya mutilasi itu karena dia tahu konsekuensi hukumnya dan kemudian mencari cara sendiri untuk menghilangkan bukti dengan mutilasi,” ujar Josias.
Baca juga: Titik Terang Kasus Mayat Dalam Koper Korban Mutilasi di Bogor, Pelaku Ditangkap di Yogyakarta
Dari sisi sosiologi kriminal, seseorang melakukan pembunuhan hingga melakukan mutasi disebut karena pelaku tidak mampu memahami dan mengendalikan dirinya.
“Untuk kasus pembunuhan dan mutilasi, pasti ada kendala dalam hidup pelaku, apakah kasus pribadi atau lainnya. Dan pelaku tidak mampu mengendalikan diri sehingga mengambil jalan pintas dengan membunuh. Lalu takut terjerat hukum maka melakukan mutilasi,” kata sosiolog kriminalitas yang telah purnatugas dari Universitas Gadjah Mada, Soeprapto.
Soeprapto mengatakan, di balik kebutuhan manusia akan ekonomi, sosial, psikologis, dan biologis, terdapat beberapa anggota masyarakat yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah sehingga melakukan tindakan kriminal untuk memenuhi itu.
Baca juga: 5 Kasus Mutilasi Kelamin Pria yang Terjadi di Indonesia
“Sehingga ketika menghadapi tekanan hidup, dia tidak mampu mengendalikan diri atau mencari solusi bersama. Akhirnya mengambil jalan pintas dengan melakukan tindakan kriminal,” ujarnya.
Kecerdasan emosional yang rendah, tambah Soeprapto, beberapa di antaranya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan rendah yang menyebabkan pilihan pekerjaan terbatas, tidak memiliki keterampilan sehingga kalah bersaing, hingga kemampuan berinteraksi dengan masyarakat yang terbatas.
“Masyarakat itu ada fungsi struktural fungsional yaitu saling membantu dan gotong royong. Tapi tidak semua orang punya akses ke situ karena ada beberapa yang kemampuan berinteraksi terbatas. Sehingga apa-apa dijalani sendiri, dan terpisah dari masyarakat,” kata Soeprapto.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.