Salin Artikel

Rentetan Kasus Mutilasi di Sleman, Tangerang hingga Bekasi, Mengapa Pelaku Begitu Sadis?

Sebelumnya, beberapa hari lalu, polisi juga menangkap pelaku pembunuhan yang memutilasi korban menjadi empat bagian di sebuah apartemen di Tangerang, Banten, lalu dibuang di beberapa lokasi berbeda.

Di penghujung tahun lalu, polisi juga mengungkap pembunuhan yang diikuti mutilasi di apartemen Taman Rasuna, Jakarta.

Motif dari ketiga mutilasi tersebut beragam, mulai dari masalah ekonomi hingga hubungan asmara.

Dua kriminolog dari Universitas Indonesia menjelaskan, tindakan mutilasi yang disebut sadis dan di luar akal logika itu dapat terjadi, karena pelaku mengedepankan ego mereka agar tidak tertangkap dengan cara menghilangkan barang bukti.

Sementara itu, sosiolog kriminalitas dari Universitas Gadjah Mada mengatakan, pelaku yang melakukan pembunuhan hingga mutilasi cenderung memiliki kecerdasan emosional yang rendah sehingga tidak mampu memahami dan mengendalikan diri dalam menghadapi tekanan hidup.

Polisi menyebut, pelaku yang bekerja di bidang jasa persewaan tenda itu memutilasi tubuh korban -dengan pisau hingga gergaji- menjadi 65 bagian.

Polisi mengatakan, pelaku yang memiliki hubungan asmara dengan korban melakukan pembunuhan untuk mendapatkan harta korban guna melunasi pinjaman online tersangka dari tiga aplikasi sebesar Rp8 juta.

Polisi juga menemukan surat di tempat tinggal tersangka, yang berisi, “kenapa aku melakukan ini karena aku sering berada di bawah tekanan akibat gengsi."

"Aku hanya punya waktu -+ 24 jam, dengan waktu segitu, aku akan memutuskan untuk menyerahkan [diri] ke polisi atau lari sebisa mungkin, atau lari dari kehidupan ini”.

Beberapa hari sebelumnya, polisi juga menangkap pelaku pembunuhan disertai mutilasi, DA, kepada korban berinisial R, di sebuah aparartemen di Cisauk, Tangerang.

Polisi menyebut, kedua laki-laki yang memiliki hubungan asmara itu terlibat pertengkaran hingga akhirnya DA membunuh R dengan pisau, lalu dipotong dengan gerinda.

Pelaku membuang potongan kepala dan kedua kaki korban ke sungai di Tangerang, sedangkan tubuh korban ditaruh dalam koper merah dan dibuang di kawasan Bogor.

Di penghujung tahun lalu, polisi juga menangkap pelaku pembunuhan berinisial MEL di Kabupaten Bekasi.

Polisi mengatakan MEL membunuh korban A pada Juni 2019.

Satu bulan kemudian, pelaku lalu membeli gergaji listrik memutilasi jasad A menjadi tujuh bagian yang dimasukan ke dalam dua kontainer dan satu kantong plastik hitam.

Polisi menyebut kejahatan yang dilakukan MEL bertujuan untuk menguasai harta korban sebesar Rp1,1 miliar, dari apartemen hingga isi tabungan. Selain itu, motif pembunuhan juga disebut karena pelaku menolak ajakan korban untuk menikah.

Selain kasus di atas, rentetan kasus pembunuhan yang disertai mutilasi juga terjadi, seperti pembunuhan di Apartemen Kalibata City tahun 2020, lalu pembunuhan seorang PNS di Bandung tahun 2019, dan peristiwa lainnya.

Kriminolog dari Universitas Indonesia, Yoyo Tri Hendiarto menjelaskan, kasus pembunuhan disertai mutilasi tidak dapat dihentikan dan akan mungkin terus terjadi.

“Satu kasus mutilasi akan berbeda dengan kasus lain. Mungkin beberapa bulan akan ada lagi dengan kekhasan masing-masing. Jadi tidak dapat dihentikan dan tidak pernah hilang karena bagian dari perjalanan kehidupan manusia,” kata Yogo.

“Siapapun, dari status ekonomi apapun, dari kelas bawah hingga atas bisa melakukan kejahatan ini. Berdasarkan riset, pembunuhan terjadi umumnya karena dipicu kekerasan secara verbal yang merendahkan dan melukai harga diri orang lain. Jadi hati-hati dengan mulut.”

“Sehingga membuat pelaku mengambil respon cepat di luar bawah sadar, melakukan tindakan di luar akal logika seperti membunuh korban,” kata Yogo.

Ketika pembunuhan telah terjadi, kata Yogo, tindakan selanjutnya yang dilakukan pelaku adalah menghilangkan barang bukti dengan cara yang beragam, mulai dari mengubur korban, hingga melakukan mutilasi.

“Jadi alasan utama dari mutilasi adalah untuk menghilangkan jejak. Tubuh dipotong sehingga mudah dibawa, mudah dipindahkan, dan sulit diidentifikasi. Agar tidak ditangkap polisi, salah satu pilihan rasional para pelaku adalah dengan melakukan mutilasi,” kata Yogo.

“Kalau normal, tidak stres, tidak akan berani. Potong kambing saja ngeri, apalagi manusia. Tapi mengapa pelaku bisa sesadis itu? Ini karena tekanan psikologis yang mengutamakan egonya, yaitu tidak tertangkap,” kata Yogo.

Senada, kriminolog dari Universitas Indonesia, Josias Simon mengatakan, praktik mutilasi saat ini tidak terbatas pada faktor kelainan kejiwaan yang dimiliki pelaku.

“Dulu, orang melakukan mutilasi karena ada hal-hal terkait dengan kelainan kejiwaan, tapi situasi saat ini terjadi perubahan," kata Josias.

“Bahkan orang-orang normal melakukan hal itu dalam situasi yang sangat situasional, seperti emosional, gelap mata, putus asa, bahkan dilakukan oleh orang normal yang tidak ada cap apapun terkait kejiawaan dan masalah fisik lain. Jadi ada situasi tertentu membuat orang melakukan hal itu,” tambahnya.

Josias menambahkan, maraknya praktik mutilasi tidak lepas dari perkembangan dunia digital saat ini yang memberikan banyak informasi tentang model-model kejahatan.

“Model-model ini kemudian di-copying atau dijadikan contoh oleh beberapa orang untuk menyelesaikan suatu masalah,” ujarnya.

Lebih lanjut Josias menjelaskan, mutilasi dilakukan secara sadar oleh pelaku setelah memperhitungkan kondisi yang terjadi, seperti menyiapkan alat dan transportasi untuk menghilangkan barang bukti.

“Umumnya mutilasi itu karena dia tahu konsekuensi hukumnya dan kemudian mencari cara sendiri untuk menghilangkan bukti dengan mutilasi,” ujar Josias.

“Untuk kasus pembunuhan dan mutilasi, pasti ada kendala dalam hidup pelaku, apakah kasus pribadi atau lainnya. Dan pelaku tidak mampu mengendalikan diri sehingga mengambil jalan pintas dengan membunuh. Lalu takut terjerat hukum maka melakukan mutilasi,” kata sosiolog kriminalitas yang telah purnatugas dari Universitas Gadjah Mada, Soeprapto.

Soeprapto mengatakan, di balik kebutuhan manusia akan ekonomi, sosial, psikologis, dan biologis, terdapat beberapa anggota masyarakat yang memiliki kecerdasan emosional yang rendah sehingga melakukan tindakan kriminal untuk memenuhi itu.

“Sehingga ketika menghadapi tekanan hidup, dia tidak mampu mengendalikan diri atau mencari solusi bersama. Akhirnya mengambil jalan pintas dengan melakukan tindakan kriminal,” ujarnya.

Kecerdasan emosional yang rendah, tambah Soeprapto, beberapa di antaranya dipengaruhi oleh tingkat pendidikan rendah yang menyebabkan pilihan pekerjaan terbatas, tidak memiliki keterampilan sehingga kalah bersaing, hingga kemampuan berinteraksi dengan masyarakat yang terbatas.

“Masyarakat itu ada fungsi struktural fungsional yaitu saling membantu dan gotong royong. Tapi tidak semua orang punya akses ke situ karena ada beberapa yang kemampuan berinteraksi terbatas. Sehingga apa-apa dijalani sendiri, dan terpisah dari masyarakat,” kata Soeprapto.

https://regional.kompas.com/read/2023/03/23/114100478/rentetan-kasus-mutilasi-di-sleman-tangerang-hingga-bekasi-mengapa-pelaku

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke