Liem Liang Cai mengenang waktu masa kecilnya, halaman kelenteng benar-benar masih luas karena saat itu masih jadi satu dengan vihara yang di sampingnya, kondisi bangunan yang hanya 1 lantai juga belum semegah seperti sekarang ini.
Seingat Liem Liang Cai Kelenteng dan vihara "berpisah" sekitar pertengahan tahun 1990an. Bangunan vihara dan kelenteng dibuat lebih megah sekitar akhir 2000 atau awal 2001.
Dalam buku karya Hendri Gunawan seorang peneliti yang berjudul jaringan perdagangan masyarakat Tionghoa di Teluk Tomini kehadirang bangsa asing khususnya penduduk yang berasal dari daratan Tiongkok di wilayah karesidenan Manado terlacak melalui pembangunan Benteng Amsterdam di dekat Pelabuhan Manado.
Awalnya benteng ini dibangun dari material kayu pada tahun 1655 dan diberi nama bernama Nederlanche Vasticheijt.
Tahun 1673 benteng ini diperbaiki dengan material beton dan diberi nama Fort Nieuw Amsterdam (Amsterdam Baru).
Benteng ini pernah dijadikan tempat pengasingan Pangeran Diponegoro selama 3 tahun setelah ia ditaklukkan pada tahun 1830.
Dalam perkembangannya, beberapa orang Tionghoa yang terlibat dalam pembangunan benteng ini kemudian menetap di sekitar benteng setelah mendapat kepercayaan dari penguasa.
Dari sini, sebagian orang Tionghoa menyebar hingga ke Gorontalo, umumnya mereka bekerja sebagai pedagang.
Mereka membangun relasi dengan para pedagang Bugis dan Makassar, menggunakan jalur pelayaran di Teluk Tomini yang dinamis.
Letak strategis Gorontalo yang berada di Teluk Tomini, dibelah oleh 2 sungai besar, Bone dan Bolango membuat kota ini tumbuh lebih cepat dari kota-kota lain di pinggiran Teluk Tomini. Peran orang Tionghoa sangat besar, termasuk mempengaruhi struktur kota.
Bahkan warga Tionghoa ini membangun permukiman di tepi Sungai Bolango, mereka mendirikan rumah-rumah kayu, hingga membentuk kawasan pecinan. Hingga kini kawasan ini disebut kampung cina.
Sementara warga Bugis yang mendiami tepi Sungai Bone membentuk kawasan permukiman yang hingga kini dikenal sebagai Kampus Bugis, secara administratif masuk di Kelurahan Bugis.
“Waktu saya kecil sekitar tahun 1980-an masih banyak orang yang tinggal di Kampung Cina, namun sekarang lebih banyak yang tokonya saja di Kampung Cina, tapi tinggalnya di tempat lain,” kata Liem Liang Cai tersenyum.
Ditemukannya emas di sejumlah daerah di Gorontalo juga menjadi daya tarik tersendiri bagi warga Tionghoa untuk datang secara mandiri di Gorontalo atau didatangkan oleh Pemerintah Hindia Belanda sebagai pekerja di tambang emas.
Di Sumalata, sisi utara jazirah Gorontalo, ditemukan tambang emas tahun 1870, diduga sejak masa kerajaan aktifitas pertambangan ini sudah dikelola masyarakat secara tradisional.