"Penurunan tanah itu ada di daerah pesisir. Karena memang ini tanah muda," jelasnya beberapa waktu lalu.
Meski tanpa adanya bangunan di pesisir Kota Semarang, dia memprediksi permukaan tanah di Kota Semarang tetap terjadi penurunan.
"Karena ada beban bangunan juga sekarang, jadi penurunannya tambah banyak," paparnya.
Selain kontur tanah pesisir yang masih muda, pengambilan air tanah secara masif juga menjadi penyebab penurunan tanah di Kota Semarang.
"Jadi semakin parah penurunan tanah di Kota Semarang. Ini sudah mencapai lebih dari 10 sentimeter per tahun," ujarnya.
Baca juga: Dampak Gerhana Bulan Total, Ribuan Rumah di Indramayu Direndam Banjir Rob
Soal pengambilan air tanah juga menjadi permasalahan yang lain. Sampai saat ini banyak perusahaan yang masih menggunakan air tanah.
"Pemerintah harus menyediakan dulu air yang bisa menjadi pengganti air bawah tanah. Kalau airnya jelek industri pasti tak mau," imbuhnya.
Menurutnya, sampai saat ini pemerintah Kota Semarang juga belum melakukan apa-apa terkait dengan bagaimana agar air permukaan itu siap digunakan oleh industri.
"Minimal air permukaan yang disediakan pemerintah itu layak diminum," harapannya.
Ditanya soal air permukaan yang disediakan PDAM Kota Semarang, Mila menyebut jika perusahaan air plat merah itu belum bisa mencukupi kebutuhan semua warga Semarang.
"Ada beberapa daerah yang airnya sudah tak lancar lagi. Jadi PDAM belum bisa jika menggantikan air tanah untuk industri," ungkap Mila.
Baca juga: Tak Ada Ancaman Rob di Jateng, Gerhana Bulan Aman Disaksikan Warga
Pakar Lingkungan dan Tata Kota Unissula Semarang Mila Karmila menjelaskan, ancaman rob tidak datang dari penurunan muka tanah semata. Namun, juga naiknya permukaan laut akibat es kutub yang mencair.
Hal ini menjadikan upaya untuk memperlambat rob dua kali lebih berat. Terlebih, semakin besar penurunan muka tanah semakin besar biaya yang harus dikeluarkan warga untuk meninggikan rumah paling tidak 5 tahun sekali.
Mereka yang tidak mampu menanggung biaya renovasi tahunan itu pada kondisi terburuk harus memompa air rob ke luar rumah setiap waktu.
Sebab, mereka tidak punya pilihan lain atau bahkan untuk pindah rumah. Dia sepakat, strategi warga dalam merespons cenderung solusi repetitif dan jangka pendek saja.
Alih-alih mengambinghitamkan perubahan iklim, pemerintah mestinya bergerak turun membantu warga dan menunjukkan keseriusan menangani akar masalah untuk melakukan mitigasi jangka panjang.
Menyoal keberadaan tanggul laut di Kecamatan Sayung, Demak, Mila beranggapan tanggul itu tak sepenuhnya menyelesaikan masalah rob di sana.
Pembangunan tol memang sekaligus menjadi tanggul mencegah rob di sebagian wilayah, seperti Sriwulan. Akan tetapi, banjir rob itu justru bermuara ke wilayah lainnya yang tidak dibangun tol.
Sebab, dia mendapati aduan dari masyarakat bila rob semakin parah dan sulit diprediksi di Kecamatan Bedono, Timbulsloko, Surodadi, dan sebagainya.
"Iya saya dapat keluhan, iki rob e wes raiso dikiro-kiro tekone kapan, kata mereka. Pokoknya rob datang semaunya gitu setelah proyek itu dibangun," ujar dia.
Mila menilai, mestinya bila ingin membangun tanggul maka proyek harus merata di semua titik yang mengalami rob.
"Siapa sebenarnya yang diuntungkan tol (tanggul laut), pengguna mobil kan? Artinya bukan masyarakat, karena mereka tidak pernah lewat situ. Jadi harus dilihat untuk siapa pembangunan itu," kata dia.
Di samping itu, dia juga tidak menjamin tanggul dapat menjadi solusi utama jangka panjang untuk mengatasi rob.
Terlebih, melihat tanggul di beberapa titik tetap jebol tak kuat menahan hantaman gelombang air laut, seperti di Pelabuhan Tanjung Emas, PT Lami Citra beberapa waktu lalu.
"Contohnya di Pekalongan tidak akan banjir karena ada tanggul. Terus bagaimana dengan daerah Pemalang? Kan airnya pindah ke sana. Makanya kalau hanya separuh yang ditanggul, sama aja memindahkan masalah ketempat lain" kata dia.
Angin berhembus keras merontokkan dedaunan tanaman mangrove yang telah ditanam oleh Sururi (65) warga Mangunharjo, Mangkang, Kota Semarang, Jawa Tengah.
Tanaman mangrove itu yang sampai saat ini melindungi permukiman warga dari terjangan air rob. Jutaan mangrove telah ditanam sejak 1995.
Hal itulah yang membuat Sururi dijuluki sebagai kyai mangrove. "Bagi saya menanam mangrove ini adalah perintah agama," jelasnya saat ditemui di rumahnya.
Sebelumnya jarak antara bibir pantai dengan permukiman warga tinggal 500 meter pada 1990-2000.
Baca juga: Curhat Warga Semarang, Habis Ratusan Juta Agar Rumahnya Tak Ditenggelamkan Rob
Setelah dia gencar menanam mangrove selama bertahun-tahun, jarak bibir pantai dengan permukiman warga menjadi 1,4 kilometer.
"Sebenarnya yang menanam di sini tak hanya saya. Namun juga dibantu aktivis, mahasiswa dan warga," ujar dia.
Menyadari sudah berkepala enam, Sururi mencoba untuk meneruskan perjuangan menanam mangrove kepada anaknya. "Ini anak saya sudah mulai saya latih untuk meneruskan perjuangan,"paparnya.
Sampai saat ini, rumah Sururi juga dijadikan sebagai tempat edukasi soal mangrove dan lingkungan. Dia juga menyediakan laboratorium untuk menanam mengrove di dekat bibir pantai.
Baca juga: Ratusan Rumah di Kabupaten Tangerang Terendam Banjir Rob
"Jadi seperti ini rumah saya tak pernah sepi," katanya menunjukan puluhan tamu yang di rumahnya.
Karena kegigihannya itu, para akademisi baik dalam dan luar negeri sering datang ke tempat tinggalnya soal penanaman mangrove. "Bahkan saya juga pernah ke luar negeri," ujarnya.
Apa yang dilakukan oleh Sururi tak sia-sia. Sejak 2004 masyarakat mulai merasakan manfaat tanaman mangrove yang telah ditanamnya.
"Karena itu beberapa kali komunitas sadar lingkungan di sini pernah terbentuk namun umumnya tak lama karena persoalan uang,"imbuhnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.