Koordinator Koalisi Sipil Undang-Undang Perlindungan PRT, Eva Kusuma Sundari mengungkapkan RUU Perlindungan PRT yang disodorkan sejak 2004 sudah sangat moderat karena sudah 78 kali direvisi.
Di dalamnya, kata Eva, tidak ada ketentuan jerat pidana dan lebih menekankan pada standar perjanjian kerja antara majikan dan PRT untuk menghindari eksploitasi.
Persoalannya, kata dia, DPR sejauh ini lebih memposisikan diri sebagai majikan dari pada PRT.
"Di dalam UU ini seolah-olah menargetkan PRT. Mereka [DPR] merepresentasikan majikan dari pada PRT loh,“ katanya kepada BBC News Indonesia.
Politikus PDI Perjuangan ini menambahkan, RUU Perlindungan PRT juga memuat kepentingan pemberi kerja atau majikan. Di saat pemberi kerja punya harapan tinggi tentang keterampilan PRT, maka itu bisa diakomodasi melalui pelatihan di serikat pekerja.
"Itu ditengahi dengan adanya serikat PRT,“ kata Eva.
Selain itu, PRT yang mengingkari perjanjian juga bisa kena penalti.
"Dengan melibatkan pengirimnya juga. Jadi kayak ngatur TKI. Kan lebih fair sekarang, ketika ada konflik, ada mediasinya,“ tambah Eva.
Dan yang terpenting, PRT tidak lagi bisa berbuat seenaknya seperti pulang kampung dan tak kembali. "Kita juga punya kepastian, karena dia di dalam perjanjiannya,“ katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua Badan Legislasi DPR Willy Aditya mengatakan, rancangan aturan ini sudah selesai dibahas dan siap menjadi RUU inisiatif DPR.
Untuk menuju ke arah sana, RUU ini tinggal menunggu jadwal ditetapkan pimpinan DPR di rapat paripurna.
"Nah, itu harus tanya Mba Puan [Puan Maharani-Ketua DPR-RI], tanyakan kepada pimpinan DPR kenapa mereka belum paripurnakan sampai hari ini?“ kata Willy kepada BBC News Indonesia.
Lebih lanjut, menurut Willy sejauh ini terjadi kegamangan dan ketakutan dari pembuat kebijakan terkait RUU tersebut.
"Bayangan industrialis yang serba kaku dengan berbagai peraturan dan konsekuensinya, membuat banyak legislator skeptis terhadapnya [RUU PPRT],“ katanya.
Sementara itu, Wakil Ketua DPR-RI, Sufmi Dasco Ahmad, saat dikonfirmasi BBC News Indonesia mengatakan, "Sekarang lagi reses, nanti setelah reses kita lihat perkembangan“.
RUU Perlindungan PRT sudah diajukan sejak masa pemerintahan Megawati Soekarnoputri, pada 2004 silam. RUU ini digagas dan disponsori oleh PDI Perjuangan.
Menurut Eva Kusuma Sundari, pada 2009, PDI Perjuangan menggencarkan agar RUU ini disahkan. Akan tetapi saat itu Demokrat sebagai partai penguasa menolak.
Hingga 2019, RUU ini masuk ke dalam program legislasi nasional. Namun, dua fraksi besar menolak untuk segera disahkan yaitu PDI Perjuangan dan Golkar dengan alasan tidak mempertimbangkan sosio-kultural masyarakat, di mana PRT bekerja secara gotong royong dan kekeluargaan.
Baca juga: ART Korban Penyiksaan Masih Terbaring di RS, Kepala dan Mata Luka Serius
Di saat yang bersamaan, Demokrat berbalik arah mendukung pengesahan RUU ini.
Pada 2020, Badan Legislasi DPR menyepakati RUU Perlindungan PRT menjadi inisiatif DPR. Akan tetapi hingga kini regulasi ini belum juga dibawa ke rapat paripurna.
Dalam sejumlah kesempatan, Wakil Presiden Ma‘ruf Amin mendukung percepatan pengesahan RUU Perlindungan PRT, seruan yang sama juga disampaikan Kementerian Tenaga Kerja.
Pemerintah juga membentuk Gugus Tugas percepatan RUU Perlindungan PRT yang beranggotakan delapan kementerian dan lembaga. Gugus tugas ini memiliki kerangka waktu kerja hingga 31 Desember 2022.
Ceceng, yang mewakili keluarga RN hanya bisa berharap adanya kehadiran nyata dari negara atas perlindungan PRT, agar tak ada lagi tragedi seperti RN di kemudian hari.
"Supaya tidak ada lagi korban-korban yang lain di Indonesia ini," katanya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.