Perjalanan panjang burung-burung ini adalah perjuangan untuk bertahan hidup, menghindari musim dingin di tempatnya berbiak, juga harus mampu selamat dalam perjalanan panjang yang melelahkan dan berbahaya.
Temuan burung mati oleh Asman Adi Purwanto ini menjadi bukti bahwa upaya mereka bermigrasi tidak selalu mulus dan selamat, kematian mengintai di sepanjang jalur terbang asia timur Australasia (East Asian-Australasian Flyway) yang melintasi wilayah 22 negara, meskipun setiap kematian burung ini perlu penelitian mendalam untuk mengetahui secara spesifik.
Pada awal musim migrasi ini, sebuah siklon tropis Noru telah menghadang.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) membuat analisis pada 25 September 2022 yang menunjukkan posisinya berada di Laut Filipina pada koordinat 15 Lintang Utara, 123,6 Bujur Timur atau sekitar 1310 kilometer sebelah utara Tahuna.
Siklon ini bergerak ke arah barat dengan kecepatan 12 knots atau 22 km/jam menjauhi wilayah Indonesia.
Siklon tropis Noru memiliki keluatan mencapai 95 knots atau 175 km/jam, dengan tekanan sebesar 940 hecto Pascal (hPa) atau milibar (mb).
Dalam 24 jam kemudian posisi sudah beraad di Laut Filipina dengan koordinat 16,1 lintang utara 119 bujur timur atau sekitar 1590 kilometer sebelah utara barat laut Tahuna dengan arah gerak ke barat dengan kekuatan 75 knots atau 140 kilometer/jam yang membawa tekanan udara yang mencapai 965 hPa.
Dampak munculnya siklon tropis Noru ini menyebabkan kondisi maritim bergelombang tinggi antara 1,25-2,5 meter di perairan Kepulauan Talaud, perairan Kepulauan Sangihe, Laut Maluku bagian utara, perairan utara dan barat Halmahera, Samudera pasifik utara Papua Barat, Laut Sulawesi, Laut Natuna Utara.
Bahkan gelombang yang lebih tinggi lagi hingga mencapai 2,5-4 meter terjadi di wilayah Samudera Pasifik utara Halmahera.
“Kalau dilihat dari cara burung migrasi dengan memanfaatkan arus angin, siklon tropis Noru bisa menjadi berpengaruh terhadap migrasi burung,” kata Supandi Nikolas, forcaster on duty Stasiun Meteorologi BMKG Gorontalo.
Supandi Nikola menjelaskan, jika ada ada gangguan cuaca seperti siklon tropis, pola anginnya akan berubah, sehingga rute perjalanan migrasi burung juga ikut berubah.
Rintangan cuaca ini biasanya sulit untuk ditembus, sehingga rute terbangnya akan berubah untuk mengurangi risiko, akibatnya burung bisa menempuh perjalanan yang lebih panjang dan risiko yang dihadapi juga berbeda.
Terbang panjang ini pasti akan menguras energi, mengurangi daya tahan, hingga ada individu tau beberapa individu yang tidak mampu melanjutkan perjalanan.
Catatan pengamat burung dari Perkumpulan Biodiversitas Gorontalo (Biota) menunjukkan pada tahun 2015 saat banyak kebakaran hutan terjadi di Indonesia, sekumpulan gagang bayam timur yang berkunjung di Danau Limboto ditemukan dalam kondisi kaki yang terluka, membengkak, bengkok, hingga hampir putus.
Burung ini mencari makan dan beristirahat dengan kondisi yang memprihatinkan, kondisi seperti ini juga rentang pemangsaan oleh predator.
Penemuan burung yang tidak bisa terbang ini merupakan kasus miopati, yaitu kelumpuhan akibat gangguan otot dalam tubuh dengan gejala lemah dan nyeri otot atau terkadang tidak menimbulkan gejala.
Jika terkena miopati ini burung hanya terkulai lemah di tanah tidak bisa berdiri meskipun sayap masih kuat berkepak.
“Kaki lumpuh sesaat. Meski sayap normal, namun dia gak bisa cari makan atau tumpuan kaki buat terbang,” ujar Iwan Febrianto yang dikenal sebagai Iwan Londo, seorang peneliti burung pantai.
Happy Ferdiansyah seorang dokter hewan menjelaskan kasus miopati pada burung bisa terjadi di otot bagian mana yang mengalaminya. Jika otot kaki burung tidak bisa jalan dan tidak bisa melakukan "jump start" untuk terbang.
“Ini yang paling sering dijumpai di lapangan,” kata Happy Ferdiansyah.
Jika miopati ini mengenai otot sayap, burung pasti tidak bisa terbang namun masih bisa berjalan, sayapnya akan menggantung turun.
“Tapi burung yang mengalami drop wing tidak selalu sama dengan miopati ya, karena bisa juga penyebab lain,” ujar Happy Ferdiansyah.
Kondisi miopati pada burung bisa saja terjadi pada keduanya, sayap dan kaki, namun kasus ini jarang terjadi.
Namun kematian burung bermigrasi ini tidak semata-mata akibat miopati. Ada banyak penyebab kematian burung-burung bermigrasi ini selain faktor umur.