SOLO, KOMPAS.com - Banyaknya perajin belangkon membuat wilayah di Potrojayan, Kelurahan Serengan, Kota Solo, Jawa Tengah, ditetapkan menjadi Kampung Belangkon.
Pusat pembuatan belangkon di lokasi ini, diperkirakan sudah ada sejak 1970-an, setelah Mbah Joyo, pembuat belangkon kawasan Keraton.
Kemudian, Mbah Joyo berpindah tempat tinggal di Potrojayan, dan mempelopori industri pembuatan belangkon yang berkembang pesat saat ini.
Pada 1986, barulah wilayah ini disebut sebagai Kampung Belangkon.
Baca juga: Lagi, Organ Anjing Ditemukan di Pinggir Sungai, Diduga dari Rumah Jagal di Solo
Ketua Paguyuban Maju Utomo Kampung Belangkon, Hananta Karyana (50) mengatakan, total ada 35 warga yang mengeluti bidang pembuatan penutup kepala dan pelengkap baju khas adat Jawa itu.
Wilayah kampung ini, terbagi menjadi dua rukun warga (RW) yakni, RW 005 dan RW 006. Setiap rumah produksi di kampung ini rata-rata memiliki 2 pegawai.
Banyak para perajin melakukan aktivasinya membuat belangkon di setiap ruas kampung itu. Belangkon-belangkon dijemur di bahu-bahu jalan.
Pembuatan belangkon di kampung ini tidak hanya mengerjakan model belangkon Solo, tetapi juga melayani model lain.
Sehingga, banyak dari wilayah Yogyakarta, Ponorogo, Surabaya hingga kota-kota besar di Pulau Jawa memesan dari Kampung Belangkon ini.
"Kalau tempat saya, setiap harinya bisa membuat 100 blangkon dengan empat karyawan. Tergantung pesanannya, kami kekuatannya dipesan relasi kami," kata Hananta Karya saat ditemui pada Selasa (6/9/2022).
Baca juga: Biaya Operasional BST di Solo Membengkak Imbas Naiknya Harga BBM
Satu belangkon dibandrol seharga Rp 15.000 hingga Rp 50.000 tergantung bentuk, motif dan bahan belangkon.
Hananta mengeklaim, Kampung Belangkon ini memiliki beberapa keistimewaan atau keterampilan yang tidak dimiliki perajin lain.
"Kami menguasai belangkon Jogja, tapi dia tidak menguasai belangkon Solo, bisa juga bentuk belangkon-belangkon lain yang kami buat," ujar dia.
Karena keistimewaan ini, tak jarang para perajin kewalahan untuk membuat pesanan dari berbagai wilayah.
Bahkan, mereka pun tak sempat memasarkan belangkon yang mereka buat di platform belanja online.
"(Banyak pesanan) terkadang tidak mampu, jadi kalau online itu kan kami harus punya stok barang. Padahal, kami malah enggak punya stok barang. Yang punya stok barang malah yang pesan-pesan dari kami," ujar dia.
Kendala lain, karena minimnya sumber daya manusia (SDM) yang mengguasi pembuatan belangko itu juga menjadi persolan.
"Jadi, antara produksi dan pesanan lebih banyak pesanan. Memang cari tenaga kan juga sulit, modal juga sulit," kata dia.
Di sisi lain, pemetaan wilayah ini sebagai sentra belangkon atau kampung belangkon membuat penduduk ini memiliki mata pencarian yang bisa digantungkan.
Baca juga: Nelayan Kendal Menjerit, Harga Solar Naik, tapi Sulit Didapat
"Kondisi sekarang istilahnya lebih baiklah ekonominya lebih bagus, ekonominya meningkat terus. Karena kampung di sini dulu kan banyak pengangguran, terus sekarang tidak ada pengangguran. Jadi secara ekonomi lebih tertata," kata dia.
Bahkan, dengan menekuni kerajinan belangkon, banyak warga yang bisa menyekolahkan dan menguliahkan anak-anak mereka.
"Bisa untuk kuliah anak saya. Ada juga single parents juga bisa menyekolahkan dua anaknya. Sangat bergantung dengan usah ini," ujar dia.
"Pas pandemi awal, memang kami sempat berhenti 3 bulan sampai 4 bulan, semuanya 2020 awal pandemi. Tapi, sekarang sudah membaik, pesanan sudah datang lagi," lanjut dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.