KOMPAS.com - Konon diceritakan ketika masa penjajahan Belanda, ada kisah seorang musafir bernama Wira Sambo.
Sekitar tahun 1700-an, Wira Sambo pertama kali memasuki sebuah wilayah di kaki Gunung Merbabu.
Kala itu sempat terjadi peperangan sehingga punggawa-punggawa dan prajurit lari dari peperangan itu.
Wira Sambo yang juga dikenal dengan Kyai Wikono datang untuk menyebarkan agama Islam di wilayah tersebut.
Berdasarkan cerita turun temurun, Wira Sambo berasal dari Kasunanan Keraton Solo.
Wira Sambo tiba dan tinggal di wilayah itu bersama istrinya bernama Dewi Sekar Kenanga.
Mereka kemudian melahirkan keturunan-keturunan hingga menetap di wilayah sekitarnya.
Baca juga: Mengenal Dusun Sambo di Magelang, yang Mendadak Populer Setelah Kasus Irjen Ferdy Sambo
Berawal dari kisah tersebut, nama Wira Sambo kemudian diabadikan menjadi nama sebuah dusun di wilayah tersebut.
Letaknya di Kecamatan Podosoko, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, dusun ini bernama Dusun Sambo.
Tak hanya itu, nama sang Istri juga diabadikan menjadi nama Dusun Kenanga yang letaknya tak jauh dari Dusun Sambo.
Jarak yang harus ditempuh menuju Dusun Sambo dari pusat Kota Magelang yakni sekitar 20 kilometer atau sekitar 30-45 menit.
Dengan menggunakan sepeda motor, perjalanan menuju Dusun Sambo akan melewati akses jalan berbatu, berliku dan melewati perkebunan-perkebunan.
Namun, begitu sampai dusun itu, terlihat bersih dan rapi hingga dicanangkan sebagai Kampung Pancasila oleh Pemerintah Kabupaten Magelang.
Sampai saat ini, masyarakat masih menggelar tradisi-tradisi untuk mengormati leluhur, termasuk Kyai Wikono.
Seperti tradisi Nyadran yang digelar setiap tanggal 10 bulan Ruwah dalam kalender Islam, seluruh masyarakat akan berkumpul untuk mendoakan leluhur.