“Anak SD sekolah pagi, anak SMA sekolah sore, waktu itu masih numpang gedung,” terang Agus.
Berganti tahun, akhirnya bangunan sekolah berdiri. Awalnya bernama SMA Sepaku. Namun, belakangan diganti SMK karena pertimbangan ketersediaan serapan tenaga skill.
“Dulu awal-awal siswa hanya 30, terus naik jadi 50. Berjalan waktu terus naik jadi 100 siswa. Saat ini sekolah ini punya 240 siswa. Tiap tahunnya kami terima siswa baru berkisar 80-100 siswa,” jelas dia.
Baca juga: Ada Suku yang Merasa Tak Dilibatkan Bangun IKN, Ini Penjelasannya...
Sejak bergulirnya IKN dua tahun lalu, Agus menyebut para guru terus memacu belajar para siswa. Tanpa henti mereka terus mengingatkan ketatnya persaingan ke depan saat IKN sudah pindah di tempat mereka.
Kendati begitu, Agus dan para guru lain hanya sebatas motivasi saja. Tidak ditopang dengan fasilitas belajar yang memadai.
“Sekolah ini memotivasi anak-anak untuk maju. Sering kami sampaikan sejak ada isu IKN. Respons murid, takut sih enggak. Tapi semangat biasa saja. Masih ada belum sadar. Orang Indonesia itu ketika sudah terjadi baru bergerak," kata Agus.
“Saya selalu ingatkan, jangan kalian (siswa) bergantung dengan hasil alam yang masih ada. Seperti hasil pertanian, perkebunan, dan lain-lain. Ketika ada IKN, semua itu akan habis," tambah dia.
Baca juga: Tak Hanya Uang Ganti Rugi, Pendampingan Keuangan juga Diperlukan Warga IKN
Agus mengakui belum maksimal karena semangat belajar siswa masih lemah. Selain itu, sebagian siswa setelah pulang sekolah masih sibuk membantu orangtua ke kebun atau kegiatan lainnya.
“Jadi secara signifikan belum perubahan nilai. Hanya, kami tanamkan kesadaran, nanti bakal jadi kota besar di sini. Sekarang anak-anak ini belum cukup pengetahun hadapi persaingan," tutup Agus.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.