Awalnya pembangunan jalan tak ada kendala. Namun ketika ketika memasuki kawasan Gadok, Cisarua, Puncak, Cianjur, Bandung, Sumedang hingga Cirebon banyak terkendala oleh pebukitan dan pegunungan yang terjal.
Pemerintah Hindia belanda kemudian mengutus Kolonel Von Lutzouw dari tentara kerajaan Belanda untuk memimpin proyek pembangunan jalan yang terkendala oleh kondisi medan yang berbukit-bukit itu.
Pemerintah Hindia Belanda juga menyediakan upah hingga 30.000 ringgit di luar beras dan garam sebagai bahan persediaan makanan untuk para pekerja.
Besarnya upah yang diberikan pun disesuaikan dengan kondisi medan yang dilalui.
Baca juga: Sejarah Istana Gedung Agung Yogyakarta, Tempat Presiden Jokowi Tunaikan Shalat Idul Fitri
Pada waktu membuka lahan di kawasan Puncak, para pekerja mendapatkan upah yang paling besar yaitu 10 ringgit / bulan (upah di jalan lain hanya berkisar 1 ringgit s/d 6 ringgit per bulan).
Pembangunan jalan raya di kawasan Puncak bisa dibilang adalah yang paling sulit, bahkan para pekerja yang dikerahkan untuk membuka dan meratakan lahan berjumlah 400 orang pekerja yang sebagian besar didatangkan dari Jawa.
Beratnya medan tersebut adalah karena keberadaan Gunung Megamendoeng yang berketinggian 1880 mdpl yang lokasinya berada di sekitar Puncak Pass yang akan dijadikan jalan raya.
Sebelum jalan raya puncak dibangun, perjalanan menuju Cipanas dari Batavia akan memakan waktu hingga delapan hari.
Baca juga: Sejarah Istana Djoen Eng di Salatiga, Dibangun Tahun 1921 dengan Biaya 3 Juta Gulden Belanda
Namun begitu, Walter Kinloch (1853) mencatat bahwa jalan di Cisarua saat itu masih sangat terjal, sehingga mereka akan membutuhkan bantuan beberapa ekor kerbau untuk menarik kereta kuda.
Yang menarik adalah, pembangunan Jalan Raya Pos sepanjang hampir 1.000 km ini hanya memakan waktu selama satu tahun saja yang dimulai pada Mei 1808 dan berakhir September 1809.
Mengingat besarnya manfaat ekonomi dari selesainya pembangunan Jalan Raya ini, sudah tentu menjadi sebuah prestasi yang luar biasa dari sang Gubernur Jenderal, H.W Daendels.
Terlebih lagi saat itu pembangunan jalan raya ini masih dilakukan secara manual dan dengan teknologi yang cukup sederhana.
Namun dibalik prestasinya yang luar biasa itu, di tengah himpitan ekonomi dari pemerintah Hindia Belanda yang terus menurun akibat serangan Inggris.
Sementara itu beratnya medan dan ketinggian wilayah Puncak, akhirnya harus dibayar mahal dengan banyaknya jumlah korban dari kalangan buruh yang bekerja membuat Jalan Raya Pos.
"Daendels tidak meneruskan jalan yang sudah ada namun membuka jalan baru Puncak membuka jalan baru di medan berat hingga ketinggian 1.408 MDPL di kawasan Megamendung, Puncak. Proyek ini mengakibatkan jatuhnya 500 ribu lebih korban meninggal dari kalangan buruh Sunda dan Jawa," papar Rizal dikutip dari gridoto.com
Ia bercerita, hadirnya akses jalan membuat Kawasan Puncak tereksploitasi karena berkembang menjadi lokasi wisata dan perkebunan teh.
Baca juga: Sejarah Istana Pagaruyung, Raja, dan Arsitektur
"Akhir abad 19 jelang abad 20, investasi perkebunan teh yang menjadi aset Kawasan Puncak. Tahun 1937 pariwisata makin besar, aktivitas ilmuwan menurun, dan perkebunan menggusur hutan di sana dan membuat berdirinya hotel dan resort Puncak," katanya lagi.
Hal ini, membuat Puncak yang asri dan berfungsi sebagai wilayah resapan air berubah menjadi ikon wisata kota Batavia.
"Puncak yang dieksploitasi menjadi kawasan wisata dan perkebunan membuat Jakarta terkena bencana alam berupa banjir akibat wilayah Puncak tak optimal lagi sebagai kawasan hijau penyerap air saat hujan," ungkap Rizal.
Baca juga: Sejarah Istana Tampak Siring Bali, Berdiri Atas Prakarsa Soekarno Setelah Indonesia Merdeka
Rizal menambahkan, Kawasan Puncak yang kini sering macet merupakan penerusan ulah Belanda yang menjadikan kawasan asri menjadi tempat wisata.
"Dari kejadian 300 tahun ini, Batavia yang sumpek dan pengap akibat Malaria, Puncak jadi ruang untuk pergi dan jadi lokasi penyembuhan. Ketika kekuasaan Belanda sirna dari Indonesia, puncak semakin dieksploitasi dan kita mewarisi itu sampai saat ini," tutupnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.