Di jurnal tersebut ditulis jika di Indonesia, umumnya ada semacam kebutuhan kultural yang seolah-olah sebuah kekuatan yang mampu “memaksa” para perantau pulang kampung untuk mengunjungi orang tua dan kerabat mereka pada saat lebaran.
Baca juga: Urai Kepadatan Kendaraan, Kemenhub Tambah Kapal untuk Mudik
Fenomena dan istilah mudik lebaran sendiri mengemuka kembali pada tahun 1970-an. Saat itu Jakarta menjadi satu-satunya kota besar di Indonesia.
Orang dari desa beramai-ramai datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan dan mengubah nasib. Bagi mereka yang sudah mendapat pekerjaan, akan mendapatkan jatah libut panjang yang bisanya jatuh pada hari besar seperti Idul Fitri.
Jadilah momen lebaran digunakan untuk pulang kampung dan bersilaturahmi dengan keluarga. Termasuk menyempatkan diri untuk ziarah serta membersihkan kuburan leluhur.
Walaupun saat ini sudah ada ponsel dan tekhnologi untuk komunikasi jarak jauh, tradisi mudik belum dapat tergantikan.
Menurut sosiolog Universitas Gajah Mada Arie Sudjito ada beberapa hal yang menyebabkan teknologi tidak bisa menggantikan tradisi mudik.
Salah satunya, disebabkan teknologi tersebut belum menjadi bagian dari budaya yang
mendasar di Indonesia, terutama pada masyarakat pedesaan. Sehingga para perantau rela berdesak-desakan mengantre tiket, kereta dan pesawat hanya demi tiba di kampung halaman sebelum Lebaran.
Namun, bukan berarti tradisi mudik tidak bisa hilang. Tradisi mudik bisa saja hilang, namun membutuhkan waktu yang relatif lama.
Baca juga: Aksi Unik Deva, Pemudik Asal Jakarta Gendong Tabung Gas Sampai Banyumas
Pertama, mencari berkah dengan bersilaturahmi dengan orangtua, kerabat, dan tetangga.
Kedua, terapi psikologis. Kebanyakan perantau yang bekerja di kota besar memanfaatkan momen lebaran untuk refreshing dari rutinitas pekerjaan sehari-hari. Sehingga ketika kembali bekerja, kondisi sudah fresh lagi.
Ketiga, mengingat asal usul. Banyak perantau yang sudah memiliki keturunan, sehingga dengan mudik bisa mengenalkan mengenai asal-usul mereka.
Dan keempat, adalah unjuk diri. Banyak para perantau yang menjadikan mudik sebagai ajang unjuk diri sebagai orang yang telah berhasil mengadu nasib di kota besar
Baca juga: 12 Jam Terjebak Macet di Tol Merak, Pemudik: Nikmati Saja, Kan Mau Silaturahmi
Secara kultural mudik memang sebuah warisan atau bahkan keharusan. Tapi secara moral dan spiritual mudik juga menjadi wujud bakti anak kepada orang tua.
Kebiasaan sungkeman, meminta maaf hingga berziarah mendoakan anggota keluarga yang telah tiada menunjukkan jika mudik bukan hanya perjalanan fisik namun juga rohani.