Salin Artikel

Melihat Tradisi Mudik di Indonesia

Dengan mengendarai motor matic, Sakhur berangkat dari Karawang ke Brebes pada Jumat (29/4/2022) pagi sekitar pukul 05.25 WIB.

Setelah 8 jam di atas motor, Sakhur sampai di rumahnya pada pukul 14.35 WIB. Selama perjalanan, ia beristirah selama lima kali sambil berteduh dari teriknya Pantura.

Sejak sebelum berangkat, Sakhur mengaku sudah senang tak terkira karena akhinya bisa berlebaran bersama keluarga di kampung halaman.

"Senang sekali bisa mudik lagi. Berkumpul bersama kelurga besar. Tapi sedih juga sih THR ludes," kata Sakhur.

Menurutnya sejak pandemi, dua tahun berturut-turut ia tak mudik. Ia pun hanya bisa bersilaturahmi melalui video call.

"Tradisi khusus pas Lebaran, abis shalat Id langsung bawa gula dan teh keliling ke saudara biar dapet uang jajan," ungkapnya sambil mengenang masa kecil.

Selain itu bapak dua anak itu mengaku kangen makanan khas Lebaran buatan keluarganya. Salah satunya, ketupat yang dimasak dengan resep keluarga.

"Kangen makan ketupat sih soalnya pas Lebaran di Karawang istri saya masak ketupat enggak jadi. Zonk!" ungkapnya sambil tertawa.

Tradisi mudik di Indonesia

Sakhur adalah salah satu dari puluhan ribu warga di Indonesia yang memilih pulang ke kampung halaman untuk merayakan Idul Fitri.

Bagi banyak orang, mudik menjadi kebutuhan dan seolah kewajiban yang jika ditingalkan akan berdosa, bahkan ada sesuatu yang hilang.

Hal tersebut ditulis dalam jurnal yang bejudul Mudik Dalam Perspektif Budaya dan Agama yang ditulis Abdul Hamid Arribathi dan Quratul Aini dariUniversitas Raharja Tangerang.

Mereka menulis tak ada yang dapat menjawab secara pasti asal muasal istilah mudik.

Namun dalam kamus mudik berarti pulang ke udik atau pulang ke kamping halaman bersamaan dengan datangnya hari lebaran. Disebutkan ada beberapa alasan mengapa orang mudik lebaran.

Namun fenomena mudik jelas kaitannya dengan alasan kultural yang menyangkut tiga hal pokok. Yakni kebutuhan kultural untuk mengunjungi orangtua dan keluarga, berziarah ke makam kerabat dan menilik warisan tinggalan keluarga di tempat asal.

Di jurnal tersebut ditulis jika di Indonesia, umumnya ada semacam kebutuhan kultural yang seolah-olah sebuah kekuatan yang mampu “memaksa” para perantau pulang kampung untuk mengunjungi orang tua dan kerabat mereka pada saat lebaran.

Orang dari desa beramai-ramai datang ke Jakarta untuk mencari pekerjaan dan mengubah nasib. Bagi mereka yang sudah mendapat pekerjaan, akan mendapatkan jatah libut panjang yang bisanya jatuh pada hari besar seperti Idul Fitri.

Jadilah momen lebaran digunakan untuk pulang kampung dan bersilaturahmi dengan keluarga. Termasuk menyempatkan diri untuk ziarah serta membersihkan kuburan leluhur.

Walaupun saat ini sudah ada ponsel dan tekhnologi untuk komunikasi jarak jauh, tradisi mudik belum dapat tergantikan.

Menurut sosiolog Universitas Gajah Mada Arie Sudjito ada beberapa hal yang menyebabkan teknologi tidak bisa menggantikan tradisi mudik.

Salah satunya, disebabkan teknologi tersebut belum menjadi bagian dari budaya yang
mendasar di Indonesia, terutama pada masyarakat pedesaan. Sehingga para perantau rela berdesak-desakan mengantre tiket, kereta dan pesawat hanya demi tiba di kampung halaman sebelum Lebaran.

Namun, bukan berarti tradisi mudik tidak bisa hilang. Tradisi mudik bisa saja hilang, namun membutuhkan waktu yang relatif lama.

Pertama, mencari berkah dengan bersilaturahmi dengan orangtua, kerabat, dan tetangga.

Kedua, terapi psikologis. Kebanyakan perantau yang bekerja di kota besar memanfaatkan momen lebaran untuk refreshing dari rutinitas pekerjaan sehari-hari. Sehingga ketika kembali bekerja, kondisi sudah fresh lagi.

Ketiga, mengingat asal usul. Banyak perantau yang sudah memiliki keturunan, sehingga dengan mudik bisa mengenalkan mengenai asal-usul mereka.

Dan keempat, adalah unjuk diri. Banyak para perantau yang menjadikan mudik sebagai ajang unjuk diri sebagai orang yang telah berhasil mengadu nasib di kota besar

Secara kultural mudik memang sebuah warisan atau bahkan keharusan. Tapi secara moral dan spiritual mudik juga menjadi wujud bakti anak kepada orang tua.

Kebiasaan sungkeman, meminta maaf hingga berziarah mendoakan anggota keluarga yang telah tiada menunjukkan jika mudik bukan hanya perjalanan fisik namun juga rohani.

Sungkeman atau cium tangan orang tua bukan hanya bentuk kontak fisik melainkan memiliki makna secara spiritual karena orang tua dapat dianggap sebagai perantara bagi seorang anak dalam mengenal Tuhan.

Pada akhirnya ikatan batin dengan orang tua serta kewajiban mendoakan anggota keluarga seperti ini turut melestarikan melestarikan tradisi mudik.

Mudik juga mengukuhkan sifat manusia sebagai makhluk sosial. Silaturahmi yang terjalin selama mudik merupakan interaksi manis antara seorang manusia dengan sesamanya.

Silaturahmi mengingatkan kembali bahwa seorang manusia tak akan bisa mempertahankan hidup dan kehidupannya tanpa bantuan dan interaksi dengan sesamanya.

Pada akhirnya silaturahmi sebagai bagian dari mudik menjadi sarana yang sangat humanis dan interaktif untuk membangun toleransi. Karena mudik dan silaturahmi juga dijalankan dan dijalin oleh banyak masyarakat dari berbagai latar perbedaan termasuk agama.

https://regional.kompas.com/read/2022/04/30/125500078/melihat-tradisi-mudik-di-indonesia

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke