Keeempat, atau memang sekarang sedang berlangsung ruang pertempuran dalam rangka menegoisasikan kembali identitas yang terguncang akibat relasi kuasa yang menurut mereka menyimpan kandungan persoalan sehingga mereka memutuskan untuk mendasarkan kehidupannya pada satu pilihan ideologi termasuk dalam persoalan prinsip dalam idologi politik (negara)?
Kelima, Sumbar masih gamang dalam menerima tafsir tunggal (Pancasila) sebagai bagian identitas karena masih hidupnya (dihidupkan) memori pengalaman-pengalaman kesejarahan dan kontektual ketika berhadapan dengan negara masa lampau?
Keenam, atau kehadiran agama di ruang publik seperti akidah, ibadah, dan akhlak belum dirasa cukup, sehingga terus berangsek kepersoalan sosil-politik (baca Islamisme)?
Ketujuh, Sumbar hanya dimanfatkan sebagai wadah untuk membangun komunitas lokal (local parthners) yang ditriger dengan isu-isu geopolitik dan geostrategik transnasional yang menempatkan umat Islam sebagai kelompok yang teraniaya (seperti perang terhadap teroris, perang Iraq, Libiya, Syiria atau Palestina).
Kedelapan, lebih jauh lagi, atau gerakan politik kelompok Islam yang terjadi di semanjung Arab bertransformasi menjadi gerakan ideologis agama.
Kelompok ini memulai diskursus dengan menjaga kemurnian ajaran Islam dengan menggunakan properti Muslim saja.
Mereka menolak menggunakan properti kelompok non-Muslim, mulai dari pakaian sampai kepada keilmuan dan peradaban.
Sikap berjarak itu seolah menempatkan mereka pada titik berseberangan, satu sisi dititahkan mencintai dan menolong Islam, di sisi lain mengambil jarak dengan kaum kafir (non-Muslim).
Sikap anti-demokrasi juga menjadi khas kelompok ini. Doktrin agar umat Islam tidak mengikuti mayoritas karena sebagian mereka dianggap sesat.
Demokrasi dengan segala prinsip-prinsipnya dinyatakan bertentangan dengan Islam.
Sepertinya demokrasi yang terbangun saat ini di Indonesia memberikan ruang kepada kelompok tertentu untuk menkapitalisasi dan menagregasi ketidakpuasan masyarakat Muslim terutama dalam wacana keadilan sosial atas nama Islam sehingga ini mampu menjadi hulu ledak.
Dan Sumbar adalah daerah yang pemeluk muslimnya mayoritas sebagaimana Banten, Jawa Barat, Aceh, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan lainnya dijadikan locus dan episentrum untuk menguji formula Islamisme itu.
Tidak banyak ditemukan reaksi baik tertulis, video, flayer, poster atau selebaran dari pelbagai ulama dan elite yang berkaitan dengan penangkapan teroris. Padahal dalam kejadian-kejadian lain sebagian mereka jamak (hobi) bersuara lantang dan keras.
Ini memunculkan pertanyaan lagi, apa sesungguhnya terjadi, tidak beraninya ulama atau elite lainya secara masif berkomentar atau mengutuk tindakan teroris tersebut.
Apakah diam mereka disebabkan, pertama, teroris belum melakukan tindakan fisik seperti pengeboman atau kekacauan dalam padangan kasat mata, sehingga perlu korban terlebih dahulu baru bereaksi?
Kedua, ulama masih menimbang-nimbang untuk ikut berkomentar karena keterbatasan informasi peristiwa tersebut?.
Ketiga, kalau seandainya bereaksi secara visual atau verbal mereka takut akan menjadi pergunjingan, bahkan mungkin akan dicaci maki di media-media terutama media sosial, alhasil diam adalah pilihan?
Keempat, kekuatiran mereka dikaitkan pada posisi tertentu yang nantinya tidak menguntungkan secara personal bagi diri mereka atau tidak memberikan manfaat terhadap manhaj dakwah mereka.
Kelima, ulama masih berada dalam alam subjektif mereka ketika mendefenisikan radikalisme, ekstremisme dan terorisme sehingga sikap itu melahirkan ekspresi yang ambigu dan tidak jelas.