Salin Artikel

Sumatera Barat, Terorisme dan Diamnya Ulama?

Para tersangka diduga terlibat dalam jaringan Negara Islam Indonesia (NII).

Setelah peristiwa penangkapan tersebut, Sumatera Barat kembali memenuhi media nasional dalam artian yang tidak mengembirakan.

Gerakan terorisme kali ini sudah mulai berkembang. Mereka tidak hanya pada tingkatan pengajian dan rekrutmen, tapi sudah mulai melakukan baiat dan pelatihan pramilter.

Dari indentifikasi awal, tersangka memiliki keinginan untuk mengubah ideologi Pancasila dengan “Islam yang kaffah” dan memiliki niat untuk menggulingkan pemerintah yang sah apabila NKRI sedang dalam keadaan kacau.

Dalam perekrutan anggota secara masif, kelompok ini bahkan sudah melibatkan anak-anak.

Latar belakang profesi terduga di antaranya petani, pedagang, pemilik bengkel sepeda, tukang sablon hingga mantan tenaga honorer Satpol PP (Kompas.com, Detik.com dan Inews.id).

Penangkapan yang dilakukan oleh Densus 88 di Sumbar tidak kali ini saja. Pada tahun-tahun sebelumnya juga sudah terjadi.

Tercatat selama Juli 2022 ada 9 orang terduga teroris yang berafiliasi ke Jamaah Ansharut Daulah (JAD)d i tanggkap.

Kerisauan?

Pertanyaannya adalah apa yang sesungguhnya sedang terjadi? Apa yang melatari mulai berkembangnya faham terorisme di Sumbar?

Apakah Sumbar sudah menjadi (dijadikan) lahan tumbuh dan berkembangnya faham terorisme?

Apakah para aktor intelektual kelompok teroris itu berasal dari atau luar Sumbar, atau Sumbar dianggap secara sosioreligius cocok jadi persemaian ideologi ekstremisme dan radikalisme yang puncaknya adalah terorisme.

Apalagi dari banyak tersangka dan juga kasus-kasus sebelumnya melibatkan anak-anak muda.

Dan pertanyaan yang menukik adalah kenapa banyak ulama dan elite lainya berdiam diri dengan peristiwa ini?

Sederet pertanyaan yang merisaukan tersebut membentang luas untuk segera dijawab.

Banyak kemungkinan untuk menjawab kerisauan tersebut. Pertama, mungkin sebagian orang Sumbar mengalami problem psikologis atau problem sosiologis di level mikro yang menyebabkan guncangan-guncangan dalam keyakinan yang dianut sebelumnya.

Contohnya diperlakukan diskriminatif, krisis sosial ekonomi, di(ter)asingkan, dan mengalami represi politik baik secara simbolik atau faktual, yang menyebabkan mereka sangat terbuka (cognitive opening) dengan gagasan baru yang lebih ekstrem dan radikal sebagaimana yang Wiktorowicz (2005) kupas dalam teorinya?

Kedua, ataukah ini fase berulang, cara-cara kekerasan menjadi jalan keluar dalam menyelesaikan masalah sebagaimana yang termaktub dalam sejarah Sumatera Barat?

Ketiga, atau Sumbar mencoba kembali peruntungannya dengan upaya menegasikan cara pusat atau Jakarta yang sudah memperlakukan masyarakat secara tidak adil, tidak demokrasi, tidak humanis dan sebagainya dengan cara yang berbeda dengan sebelumnya (baca PRRI)?

Keeempat, atau memang sekarang sedang berlangsung ruang pertempuran dalam rangka menegoisasikan kembali identitas yang terguncang akibat relasi kuasa yang menurut mereka menyimpan kandungan persoalan sehingga mereka memutuskan untuk mendasarkan kehidupannya pada satu pilihan ideologi termasuk dalam persoalan prinsip dalam idologi politik (negara)?

Kelima, Sumbar masih gamang dalam menerima tafsir tunggal (Pancasila) sebagai bagian identitas karena masih hidupnya (dihidupkan) memori pengalaman-pengalaman kesejarahan dan kontektual ketika berhadapan dengan negara masa lampau?

Keenam, atau kehadiran agama di ruang publik seperti akidah, ibadah, dan akhlak belum dirasa cukup, sehingga terus berangsek kepersoalan sosil-politik (baca Islamisme)?

Ketujuh, Sumbar hanya dimanfatkan sebagai wadah untuk membangun komunitas lokal (local parthners) yang ditriger dengan isu-isu geopolitik dan geostrategik transnasional yang menempatkan umat Islam sebagai kelompok yang teraniaya (seperti perang terhadap teroris, perang Iraq, Libiya, Syiria atau Palestina).

Kedelapan, lebih jauh lagi, atau gerakan politik kelompok Islam yang terjadi di semanjung Arab bertransformasi menjadi gerakan ideologis agama.

Kelompok ini memulai diskursus dengan menjaga kemurnian ajaran Islam dengan menggunakan properti Muslim saja.

Mereka menolak menggunakan properti kelompok non-Muslim, mulai dari pakaian sampai kepada keilmuan dan peradaban.

Sikap berjarak itu seolah menempatkan mereka pada titik berseberangan, satu sisi dititahkan mencintai dan menolong Islam, di sisi lain mengambil jarak dengan kaum kafir (non-Muslim).

Sikap anti-demokrasi juga menjadi khas kelompok ini. Doktrin agar umat Islam tidak mengikuti mayoritas karena sebagian mereka dianggap sesat.

Demokrasi dengan segala prinsip-prinsipnya dinyatakan bertentangan dengan Islam.

Sepertinya demokrasi yang terbangun saat ini di Indonesia memberikan ruang kepada kelompok tertentu untuk menkapitalisasi dan menagregasi ketidakpuasan masyarakat Muslim terutama dalam wacana keadilan sosial atas nama Islam sehingga ini mampu menjadi hulu ledak.

Dan Sumbar adalah daerah yang pemeluk muslimnya mayoritas sebagaimana Banten, Jawa Barat, Aceh, Sulawesi Selatan, Nusa Tenggara Barat dan lainnya dijadikan locus dan episentrum untuk menguji formula Islamisme itu.

Diamnya ulama?

Tidak banyak ditemukan reaksi baik tertulis, video, flayer, poster atau selebaran dari pelbagai ulama dan elite yang berkaitan dengan penangkapan teroris. Padahal dalam kejadian-kejadian lain sebagian mereka jamak (hobi) bersuara lantang dan keras.

Ini memunculkan pertanyaan lagi, apa sesungguhnya terjadi, tidak beraninya ulama atau elite lainya secara masif berkomentar atau mengutuk tindakan teroris tersebut.

Apakah diam mereka disebabkan, pertama, teroris belum melakukan tindakan fisik seperti pengeboman atau kekacauan dalam padangan kasat mata, sehingga perlu korban terlebih dahulu baru bereaksi?

Kedua, ulama masih menimbang-nimbang untuk ikut berkomentar karena keterbatasan informasi peristiwa tersebut?.

Ketiga, kalau seandainya bereaksi secara visual atau verbal mereka takut akan menjadi pergunjingan, bahkan mungkin akan dicaci maki di media-media terutama media sosial, alhasil diam adalah pilihan?

Keempat, kekuatiran mereka dikaitkan pada posisi tertentu yang nantinya tidak menguntungkan secara personal bagi diri mereka atau tidak memberikan manfaat terhadap manhaj dakwah mereka.

Kelima, ulama masih berada dalam alam subjektif mereka ketika mendefenisikan radikalisme, ekstremisme dan terorisme sehingga sikap itu melahirkan ekspresi yang ambigu dan tidak jelas.

Ulama adalah penjaga perubahan dalam masyarakat. Ia hadir sebagai pemegang otoritas dan katalisator dalm mencurai segela sengkarut.

Dia sesungguhnya mampu memberikan kontribusi yang signifikan pada wacana yang sedang berkembang, bahkan menkonstruksi wacana dalam situasi tertentu.

Dari apa yang terjadi, puncak kekuatiran adalah diamnya ulama dalam masa yang lama perihal terorisme ini, ditakutkan terbaca oleh banyak orang akan “persetujuan” terhadap tindakan itu.

Adab ulama terhadap umatnya adalah segera menjawab kerisauan sosial umatnya.

Mulailah berhenti memperebutkan ayat-ayat Allah demi kepentingan pribadi dan golongan, pilihlah ayat yang berguna untuk kedalaman kelestarian sosial yang lebih luas (mashalah al‘ammah).

Perlu disadari banyak riset di antaranya, (N. Hasan, 2006), yang menjelaskan bahwa gerakan-gerakan radikalisme, ekstremisme dan terorisme tidak akan berkembang sampai pada level terbawah masyarakat seperti nagari atau desa jika ekosistem dan konfigurasi sosial ekonomi masyarakat mendukung termasuk dukungan elite masyarakat (ninik mamak, alim ulama, cerdik padai, pejabat dan bundo kanduang).

Kemudian situasi ini akan semakin menguat jika munculnya semangat perlawanan dari masyarakat (cultural resistance) terhadap ideologi-ideologi sebagaimana dijelaskan di atas.

Perlunya perlawanan kultural?

Situasi sebagaimana dilukiskan di atas, akan menjadi bola salju, jika semua stakeholder tidak merespons dengan cara tepat atau ulama tidak membenahi jalan atau metode atau konten dakwah mereka.

Tidak akan efektif penanggulangan tindakan teroris diserahkan seutuhnya kepada negara atau pemerintah.

Negara dan pemerintah mesti diperkuat dan didukung karena tidak hanya merugikan pemerintah an sich.

Situasi ini sungguh mengancam corak Islam kultural dan moderat yang selama ini menjadi ciri khas Sumbar selama ini.

Pentingnya counter wacana, gerakan, perlawanan yang konkret dan sebanding sehingga masyarakat mendapat pengetahuan yang seimbang.

Kemudian ulama dan masyarakat mesti bersepakat untuk medesiminasi Islam sebagai agama damai dan Pancasila serta NKRI adalah persoalan yang sudah final.

Terakhir mendorong pemerintah dan para politisi menunjukan perilaku yang sesuai dengan semangat demokrasi.

Tindakan-tindakan yang berlawanan dengan demokrasi seperti praktik oligarki, politik uang, politik transaksional dan politik dinasti mesti harus dieliminasi dalam kanvas politik Indonesia.

Kalau akhlak dan tindak laku ini tidak diperbaiki, akan membuka peluang untuk dijadikan argumentasi demokrasi adalah sistem yang salah dan thagut. Wallahua’lam bishawab

https://regional.kompas.com/read/2022/04/03/034000978/sumatera-barat-terorisme-dan-diamnya-ulama

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke