“Kesiapan mental, itu yang perlu digarisbawahi. Kasus-kasus semacam ini bisa diindentifkasi lebih awal jika piskotes, tes kejiwaan dan metal dilakukan dengan sungguh-sungguh di lingkungan TNI,” ungkapnya.
Selain itu, institusi TNI juga harus lebih peka terhadap kesehatan mental prajurit.
“Saya kira bukan hanya pimpinan TNI di level atas, terutama di level bawah yang berhadapan dengan prajurit. Harus peka,” terangnya.
Kepekaan ini harus ditumbuhkan lantaran potensi depresi bagi seorang prajurit selalu ada.
“Ini butuh kedisplinan dan pemantauan dari waktu ke waktu,” jelasnya.
Oleh karena itu, monitoring perlu dilakukan dari waktu ke waktu, terutama untuk mengantisipasi terjadinya kasus-kasus serupa Pratu R.
Direktur Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) ini juga menyoroti mengenai pentingnya catatan kejiwaan atau medical record prajurit.
Catatan itu berfungsi untuk menunjukkan kondisi prajurit, mulai dari awal bergabung hingga kondisi terkini.
Nantinya, catatan tersebut bisa dijadikan acuan apakah seorang prajurit layak atau tidak ditugaskan ke daerah operasi atau daerah konflik.
“Bila tercatat dengan baik, rekam kejiwaan itu bisa digunakan sebagai acuan bagi seorang prajurit, apakah ia layak atau tidak mendapatkan penugasan ke daerah operasi atau daerah konflik,” jelasnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.