CIREBON, KOMPAS.com - Pelapor kasus korupsi yang ditetapkan sebagai tersangka, Nurhayati, menunda pengajuan gugatan praperadilan di Pengadilan Negeri Kota Cirebon, Jawa Barat.
Pengacara Nurhayati, Elyasa Budianto mengatakan, penundaan itu karena pihaknya mendapat atensi dari Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam).
"Atas arahan Lembaga Bantuan Hukum Ikatan Keluarga Alumni Universitas Islam Indonesia (LBH IKA UII), kami membuat surat ke Menkopolhukam, Pak Mahfud MD. Ada atensi dari Pak Mahfud, agar mendapatkan perlindungan hukum untuk Nurhayati. Jadi praperadilan ditunda," kata Elyasa kepada wartawan, Rabu (23/2/2022).
Baca juga: LPSK Dalami Kebutuhan Perlindungan untuk Nurhayati
Elyasa menyebutkan, salah satu alternatif yang bisa diajukan oleh Menkopolhukam adalah penerapan deponering.
Menurut Elyasa, melalui deponering, penegak hukum dapat mengesampingkan kasus Nurhayati, namun tetap melanjutkan pokok perkara, yakni dugaan korupsi yang dilaporkan Nurhayati.
"Titik tengah penyelesaian, apakah deponering dari perkaranya Bu Nurhayati, menunda, lanjut ke perkara pokok, baru membahas status Nurhayati," kata Elyasa.
Artikel Kompas.com pada 19 Maret 2021, pernah membahas definisi deponering.
Baca juga: Diajukan Dirut RS Ummi di Pengadilan, Apa Itu Deponering?
Saat itu, reporter Kompas.com mewawancarai pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar.
"Kewenangan ini (deponering) diatur dalam (Pasal 35 ayat c) UU Kejaksaan RI," ucap Abdul Fickar Hadjar ketika dihubungi, Kamis (18/3/2021).
Pasal 35 ayat c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI menyebutkan bahwa salah satu tugas dan wewenang Jaksa Agung adalah mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.
Fickar menjelaskan, kejaksaan memiliki kewenangan yuridis yang didasarkan pada asas legalitas dan oportunitas.
Asas legalitas artinya, kewenangan menuntut sebuah perkara di pengadilan.
Sementara, menurut Fickar, asas oportunitas yakni kewenangan untuk tidak meneruskan perkara ke pengadilan, atau menghentikan perkara.
Fickar mengatakan, penghentian perkara itu dapat didasarkan pada pertimbangan yuridis atau demi kepentingan hukum.
Pertimbangannya terdiri dari, perkara bukan tindak pidana, melainkan perdata; alat bukti kurang; terdakwa meninggal dunia; perkara yang sama pernah diadili (nebis in idem); atau tindak pidana sudah kedaluwarsa.
Kemudian, penghentian perkara juga dapat dilakukan demi kepentingan umum.
"Yaitu kewenangan menghentikan perkara meski cukup bukti untuk disidangkan, tetapi dihentikan demi kepentingan umum ini (disebut) kewenangan yang didasarkan pada asas oportunitas," ucap Fickar.
Baca juga: Deponering Disambut Positif
Salah satu contohnya adalah ketika Jaksa Agung yang kala itu dijabat M Prasetyo, mendeponir perkara dua mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad dan Bambang Widjojanto pada 2016.
"Yang paling akhir menghentikan perkara Abraham Samad dan BW, dengan pertimbangan jika disidangkan akan membuat orang tidak berani menjadi pimpinan KPK, karena takut dipidanakan oleh kepolisian," tutur Fickar.
Pada saat itu, Abraham menjadi tersangka kasus dugaan pemalsuan dokumen. Sementara, Bambang adalah tersangka perkara dugaan menyuruh saksi memberi keterangan palsu pada sidang Mahkamah Konstitusi (MK).
Kasus keduanya ditangani oleh aparat kepolisian setelah KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka.
Selain Abraham dan Bambang, Kejaksaan diketahui juga pernah mengeluarkan deponering atas kasus yang menjerat Bibit Samad Rianto dan Chandra Marta Hamzah, kala keduanya menjabat sebagai pimpinan KPK.
Penulis: Kontributor Kompas TV Cirebon, Muhamad Syahri Romdhon; Devina Halim | Editor: Bayu Galih, Abba Gabrillin
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.