KOMPAS.com - Nama Jaka Tingkir atau Joko Tingkir sangat terkenal sebagai salah satu legenda di masyarakat Jawa Tengah.
Jaka Tingkir merupakan raja pertama dari Kesultanan Pajang yang berdiri di perbatasan Surakarta dan Sukoharjo.
Baca juga: Jaka Tingkir, Pendiri dan Raja Terhebat Kerajaan Pajang
Ia merupakan putra dari Ki Ageng Butuh (Raden Kebo Kenanga) dari pernikahannya dengan Roro Alit putri Sunan Lawu.
Menilik dari silsilahnya, Sunan Lawu adalah putra dari Prabu Brawijaya V.
Baca juga: Kerajaan Pajang: Pendiri, Raja-raja, Kemunduran, dan Peninggalan
Jaka Tingkir juga dikenal memiliki nama panggilan saat kecil yaitu Raden Mas Karebet.
Melansir dari laman Disporapar Provinsi Jawa Tengah, ada cerita sejarah tentang pengabdian Jaka Tingkir.
Baca juga: Raja-Raja Kerajaan Pajang
Saat beranjak dewasa, Jaka Tingkir diperintahkan untuk mengabdi ke Kerajaan Demak.
Dengan menggunakan getek (rakit), Jaka Tingkir dan ketiga sahabatnya yaitu Pangeran Monco Negoro, Kanjeng Tumenggung Wilomarto, dan Kanjeng Tumenggung Wuragil. berangkat.
Salah satu legenda menyebut dalam perjalanan di sungai Bengawan Solo, Jaka Tingkir sempat melawan seekor buaya yang akhirnya bisa dikalahkan dan mengiringinya hingga Demak.
Sampai di Demak, terjadi kisruh dimana seekor kerbau mengamuk dan Jaka Tingkir bisa menundukkannya.
Hal ini meluluhkan hati Raja Demak II yang mengangkatnya sebagai menantu dengan gelar Sultan Hadiwijaya.
Jaka Tingkir akhirnya naik tahta dan bersanding dengan Ratu Mas Cempaka putri Sultan Trenggono.
Namun perjalanan kepemimpinannya tidak berjalan mulus karena para cucu Prabu Brawijaya V tak ingin ia menduduki tahta.
Jaka Tingkir tidak melawan dengan kepercayaan "Wani ngalah iku luhur wekasane, menang tanpa ngasorake" yang artinya "Berani mengalah itu tinggi derajatnya, menang tanpa merendahkan".
Hal ini membuat Jaka Tingkir diangkat menjadi raja Demak IV den sempat memindahkan ibukota Demak dipindahkan ke Pajang Kartasura (Sukoharjo-Surakarta).
Pemindahan ini diambil demi menjaga keamanan rakyat akan berlangsungnya konflik.
Kemudian Jaka Tingkir diberi gelar menjadi Sultan Hadiwijaya Raja Pajang I.
Melansir laman Tribunnews.com, Jaka Tingkir memimpin Kerajaan Pajang selama 40 tahun antara tahun 1546 hingga 1587.
Meski ada versi di mana Raden Jaka Tingkir dikabarkan dibunuh oleh Pangeran Benowo I, namun ada juga yang menyebut ia mengundurkan diri.
Selepas turun tahta, Raden Jaka Tingkir menyepi di Dukuh Butuh, Plupuh mengikuti jejak orang tuanya.
Hari-harinya dihabiskan untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Pencipta, yang tempatnya kini diabadikan menjadi Masjid Butuh.
Jaka Tingkir di makamkan bersama orang tua dan istrinya di Makam Butuh, Desa Gedongan, Kecamatan Plupuh, Kabupaten Sragen.
Makam ini masih dirawat dan pernah mengalami beberapa kali pemugaran terutama pada masa Pakubuwono X.
Kawasan Masjid Butuh dan Makan Jaka Tingkir juga telah diresmikan sebagai cagar budaya kabupaten Sragen sesuai SK Bupati tahun 2018.
Makam Jaka Tingkir di Desa Butuh hingga kini masih digunakan oleh para petinggi Keraton Solo dan masyarakat untuk berziarah.
Di kawasan tersebut juga tersimpan sisa getek Jaka Tingkir berupa potongan kayu jati yang diperkirakan berusia sekitar 400 tahun, yang digunakan untuk berangkat ke Kerajaan Demak.
Sumber:
visitjawatengah.jatengprov.go.id
tribunnews.com
solo.tribunnews.com