KOMPAS.com - Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) akan memulai pembangunan pusat peluncuran roket atau bandar antariksa di Biak, Papua, sebagai langkah awal membangun bandar antariksa internasional.
Namun, langkah ini mendapat penolakan dari masyarakat setempat.
Sementara pengamat teknologi dan komunikasi dari ICT Institute berpendapat langkah awal ini baik bagi penelitian antariksa di Indonesia, namun perlu diawali dengan kajian risiko dan penyampaian yang transparan ke masyarakat.
Baca juga: Video Viral Sebut Waspada Arus Meteor, Lapan: Tidak Perlu Khawatir
Kenapa LAPAN baru sekarang membangun pusat peluncuran roket di Biak?
Kepala Biro Kerja Sama, Hubungan Masyarakat dan Umum, LAPAN, Chris Dewanto, mengatakan rencana pembangunan pusat peluncuran roket di Biak, Papua, bukan pertama kali diwacanakan.
Kata Chris, sejak 1980-an, LAPAN sudah memiliki tanah di Desa Saukobye, Distrik Biak Utara seluas 100 hektar yang sudah siap dijadikan pusat peluncuran roket.
Baca juga: Viral Video Meteor Jatuh di Banggai, Ini Penjelasan Lapan
"Diturunkan menjadi rencana induk keantariksaan nasional, kita harus menyiapkan bandar antariksa," kata Chris kepada BBC News Indonesia, Senin (22/3/2021).
Saat ini LAPAN hanya memiliki satu-satunya tempat peluncuran roket di Pantai Cilauteureun Cikelet Pameungpeuk, Kabupaten Garut, Jawa Barat.
Baca juga: Menristek Dukung Lapan Hadirkan Penginderaan Jauh Berbasis Digital, Ini Tujuannya
Namun, lokasi ini sudah padat penduduk, "Sehingga tidak memungkinan untuk roket-roket yang lebih besar."
"Oleh karena itu, kita mengembangkan roket sonda, dan nantinya ada roket peluncur satelit ke depannya, kita harus menyiapkan lokasi yang lebih pas, lebih strategis, lebih cocok, lebih sepi, tidak ada penduduknya dan segala macam," kata Chris.
Baca juga: Siklon Tropis Tak Sebabkan Hujan Ekstrem di Jakarta, Ini Penjelasan Lapan
Targetnya pembangunan ini selesai pada 2023 atau 2024 mendatang.
"Kalau di Biak ini (arahnya) langsung ke pantai. Jadi setelah tempat peluncuran sama laut, tidak ada apa-apa. Jadi sudah aman," kata Chris.
Lebih lanjut Chris mengatakan pembangunan infrastruktur di lahan seluas 100 hektar ini "tidak terlalu kompleks". LAPAN hanya mendirikan bangunan permanen yang tidak terlalu banyak, dan perlengkapan yang bisa berpindah tempat.
Baca juga: Pemerintah Bantah Tawarkan Biak sebagai Landasan Peluncuran Roket SpaceX
"Semua pakai mobile system. Jadi tracking-nya pakai mobile. Nanti bentuknya kayak truk membawa container di dalamnya ada komputer-komputer, ada antena," kata Chris.
"Saat ini kita sudah diskusi dengan PUPR, soal sarana dan prasarana infrastruktur, karena nggak mungkin kita mendatangkan roket, tapi tanahnya nggak siap, atau jalannya nggak siap."
Proyek pusat peluncuran untuk roket sonda tingkat dua ini akan dibiayai oleh pemerintah. Peluncuran roket dilakukan 1-2 kali setahun.
Salah satunya adalah penawaran terkait dengan pembuatan pusat peluncuran roket.
Juru bicara LAPAN, Chris Dewanto, tak menampik hal ini.
Akan tetapi, pihak SpaceX belum tertarik untuk membangun pusat peluncuran roket di Indonesia.
"Dia (SpaceX) tidak akan melakukan investasi di bidang peluncuran satelit. (Tapi) mulai membahas soal launch site untuk transportasi manusia dari kota ke kota," katanya.
Baca juga: Karwar, Rumah Nin Leluhur Suku Biak, Papua
Disebut Chris, saat ini Turki dan konsorsium dari sejumlah negara sudah tertarik untuk berinvestasi membuat bandar antariksa internasional yang kemungkinan di Biak.
"Itu sedang kita jajaki. Belum ada hal defitinitf di atas kertas, proposalnya belum ada. Baru intensi saja," katanya.
Koordinator Forum Peduli Kawasa Byak, Maichel Awom, mengklaim rencana pembangunan ini dilakukan secara sepihak.
Menurutnya, masyarakat khawatir pembangunan nantinya akan menggusur masyarakat, mengundang konflik horizontal dan merusak lingkungan.
"Karena belum ada kajian-kajian, sosialisasi mengenai dampak dari pembangunan itu," kata Maichel Awom kepada BBC News Indonesia, Senin (22/3/2021).
Baca juga: Kenapa Hujan Selalu Turun Saat Imlek? Ini Penjelasan Ilmiah dari Lapan
Penolakan ini bukan pertama kali, tapi sudah dilakukan pada 2006.
Sejak lama LAPAN berniat untuk membangun fasiltias peluncuran roket, tapi langkah ini dinilai sebagai "langkah sepihak".
"Sehingga di dalam itu, kalau pemerintah mau bangun ini buka ruang duduk dengan semua masyarakat biak, baik dewan adat, semua komponen, baru kita bicara. Tidak bisa ambil keputusan sepihak," tambah Maichel.
Baca juga: Penjelasan Lapan soal Lapisan Inversi dan Penyebab Suara Dentuman Misterius
"Kalau ada penolakan secara politis saya tidak berhak menanggapi itu," kata Chris.
Sejauh ini Chris mengklaim pemerintah daerah sudah setuju pada rencana pembangunan fasilitas peluncuran roket, termasuk DPRD setempat.
Sementara itu, Kepala Balai Kendali Satelit, Pengamatan Antariksa dan. Atmosfer, dan Penginderaan Jauh di Biak, Dian Yudistira mengatakan, pihaknya sudah "sosialisasi sebanyak 3 kali kepada masyarakat."
"Memang ada beberapa kepala keluarga yang belum mendukung, mungkin harus ada pendekatan dari pemda setempat," kata Yudistira.
Baca juga: Penjelasan Lapan soal Lapisan Inversi dan Penyebab Suara Dentuman Misterius
Pengamat teknologi sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi mengatakan jarak aman pusat peluncuran roket itu ke pemukiman masyarakat sejauh 30 kilometer.
Ia menilai Biak menjadi tempat yang strategis sebagai lokasi pembangunan pusat peluncuran roket.
Lokasinya di khatulistiwa yang mempersingkat jarak orbit, juga dekat dengan laut sebagai tempat pembuangan sisa roket.
Baca juga: Dentuman Misterius di Malang, Ini Penjelasan PVMBG, BMKG dan Lapan
Akan tetapi, semua itu harus dikaji terkait standard keselamatan bagi lingkungan sekitar, termasuk manusia. Hasil kajian ini, kata dia, perlu disampaikan kepada masyarakat.
"Dibutuhkan satu lingkungan yang memang kosong. Agar ketika sesuatu yang hal yang tidak diinginkan terjadi, ini tidak menimbulkan dampak ke lingkungan, dampak ke manusia," kata Heru kepada BBC News Indonesia, Senin (22/3/2021).
Dampak yang tidak diinginkan itu antara lain ketika roket meledak di darat, atau terjadi persoalan ketika dalam perjalanan menuju angkasa.
"Harus dikaji secara mendalam dampaknya seperti apa, kemudian kalau terjadi hal-hal yang tidak diinginkan bangaimana mengatasinya? Mitigasi seperti apa? Baru menyimpulkan akan di sana," lanjut Heru.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.